ABSTRAK
Permasalahan yang menjadi sorotan pada
maskapai penerbangan udara Garuda Indonesia Airlines
adalah rusaknya bagasi penumpang, dalam hal penyelesaian hampir semua kasus rusaknya
bagasi tersebut tidak terlaksana dengan baik yaitu dalam hal pemenuhan
kewajiban berupa tanggung jawab pelaku usaha kepada penumpang yang mengalami kerusakan
bagasi. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara lain mengangkut
penumpang dan barang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan,
memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya
kerugian yang menimpa penumpang. PT. Garuda Indonesia Airlines ditemukan adanya ganti kerugian terhadap penumpang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat dalam hal ini kewajiban
maskapai penerbangan udara PT. Garuda Indonesia Airlines adalah memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung
jawab dalam hal terjadi kerugian pada penumpang. Kerugian pada masa
penerbangan, misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik atau rasa aman
untuk sampai di tujuan dengan selamat. Kerugian setelah penerbangan antara lain
sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak.
Metode
yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode penelitian hukum empiris.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan
perundang-undangan (The Statue Approach),
dan pendekatan analisis konsep (Analytical
& Conseptual Approach) juga penggunaan sumber data yaitu sumber data
primer dan sekunder.
Adapun
hasil dari penelitian ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap penumpang
yang mengalami kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab merupakan perihal
yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kerusakan bagasi saat
terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada
penumpang. Faktor penghambat dalam proses pemberian ganti rugi yaitu informasi
data penumpang, informasi tempat tinggal, begitu juga dengan nomor telepon.
Kata
Kunci :
Tanggung jawab, Perusahaan,
Penerbangan, Bagasi Tercatat, Garuda Indonesia Airlines
ABSTRACT
The
problem that was highlighted by the airline Garuda Indonesia Airlines was the
damage to passenger baggage, in terms of solving almost all cases of damage to
the baggage it was not carried out properly, namely in terms of fulfilling
obligations in the form of business responsibility to passengers who suffered
baggage damage. In the law of transportation, the carrier obligation includes
transporting passengers and goods safely and safely arriving at their
destination, providing good service, compensating for passengers in the event
of a loss that befalls the passenger. PT. Garuda Indonesia Airlines found
compensation for passengers not in accordance with applicable regulations.
Given in this case the obligation of air airlines PT. Garuda Indonesia Airlines
is providing good service and responsibility in the event of a loss to
passengers. Losses during the flight period, for example, do not get good
service or security to arrive at the destination safely. Losses after flights
include arriving at the destination late, baggage lost or damaged.
The
method used in this research is empirical legal research method. The type of
approach used in this study is the Fact Approach, the Statue Approach, and the
Analytical & Conceptual Approach as well as the use of data sources namely
primary and secondary data sources.
The
results of this study are the form of responsibility for passengers who suffer
losses based on the principle of responsibility is a matter that is very
important in the consumer protection law. Baggage damage while flying has a
compensation value that must be paid by the airline to passengers. Inhibiting
factors in the compensation process are passenger data information, residence
information, as well as telephone numbers.
Keywords : Responsibility,
Company, Aviation, Carrying Baggage, Garuda Indonesia Airlines
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perekonomian di negara
Indonesia sangat pesat ditandai dengan adanya masyarakat yang seringkali berpindah
tempat tinggal dengan tujuan mencari nafkah, dengan adanya masyarakat yang
sering berpindah tempat dibutuhkan transpotasi atau pengangkutan baik melalui
darat, laut dan udara. Hal ini menyebabkan para penumpang memilih alternatif
angkutan umum lain yang dirasa lebih nyaman dan dapat beroperasi dalam waktu
yang singkat yang mampu mengantarkan mereka ke tempat tujuan dengan cepat dan
efektif. Angkutan udara merupakan salah satu alat transpotasi yang paling
banyak diminati masyarakat Indonesia karena terasa lebih nyaman serta menghemat
waktu. Praktik kegiatan transpotasi udara sering kali pengangkut tidak memenuhi
kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah melakukan
“wanprestasi”.[1]
Salah satunya mengenai kerusakan bagasi milik penumpang merupakan hal yang
sering terjadi, banyak pengakut yang mengabaikan masalah bagasi milik penumpang
sehingga penumpang angkutan udara merasa tidak nyaman mengenai barang-barang
bawaan mereka. Setiap kerugian yang dialami penumpang merupakan masalah hukum
khususnya merupakan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut
terhadap penumpang.
Pada hakikatnya
pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
penumpang dan pengirim. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut
mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh, dan selamat sampai di
tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang
dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang
sesuai jadwal yang telah di tetapkan dan lain-lain.[2] Adanya
masalah yang mengakibatkan kerugian, maka harus ada pihak pihak yang
bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.
Permasalahan yang
menjadi sorotan pada maskapai penerbangan udara Garuda Indonesia Airlines adalah rusaknya bagasi
penumpang. Dalam hal penyelesaian hampir semua kasus rusaknya bagasi tersebut
tidak terlaksana dengan baik yaitu dalam hal pemenuhan kewajiban berupa
tanggung jawab pelaku usaha kepada penumpang yang mengalami kerusakan bagasi.[3] Indonesia
memiliki peraturan yang mengatur mengenai angkutan udara yaitu terdapat pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Pasal 1 angka 1 menyebutkan Penerbangan
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat
udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan
keamanan,lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum
lainnya. Terkait hal tersebut, masalah penumpang merupakan masalah yang paling
krusial saat ini, permasalahan mengenai keselamatan penumpang sampai dengan
kondisi bagasi penumpang. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara
lain mengangkut penumpang dan barang dengan aman dan selamat sampai di tempat
tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal
adanya kerugian yang menimpa penumpang.
Apabila terjadi
peristiwa atau kejadian yang menyebabkan kerugian bagi konsumen maka akan
timbul tanggung jawab hukum dari pihak pengangkut untuk mengganti kerugian yang
dialami konsumen. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab terhadap kerugian,
kerusakan, cedera, dan cacat atas fasilitas di bandar udara sebagai akibat
kesalahan pihak maskapai.[4]
Wujud tanggung jawab
yang diberikan adalah berupa pemberian ganti rugi. Menurut Pasal 1 angka 3
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkutan Angkutan Udara, tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban
perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang di derita oleh
penumpang dan pengirim barang serta pihak ketiga. Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan tanggung jawab itu dimulai sebelum masa
penerbangan, pada saat penerbangan, dan setelah penerbangan. Dalam Pasal 19
ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi tanggung jawab
ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, tanggung
jawab ganti rugi atas kerugian konsumen. Akan tetapi pada kenyataannya di PT.
Garuda Indonesia Airlines ditemukan
adanya ganti kerugian terhadap penumpang tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Mengingat dalam hal ini kewajiban maskapai penerbangan udara PT.
Garuda Indonesia Airlines adalah
memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung jawab dalam hal terjadi
kerugian pada penumpang. Maka penumpang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti
kerugian terutama dalam objek penelitian ini adalah rusaknya bagasi milik penumpang.
Kerugian pada masa penerbangan, misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik
atau rasa aman untuk sampai di tujuan dengan selamat. Kerugian setelah
penerbangan antara lain sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak.
Menurut Pasal 1 angka
22,24, dan 25 Bab 1 mengenai Ketentuan Umum UURI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan dirumuskan tentang Tanggung Jawab Pengangkut, Bagasi Tercatat, dan
Bagasi Kabin. Bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada 2
macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin dibedakan sebagai berikut :
1.
Bagasi tercatat adalah barang penumpang yang
diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara
yang sama;
2.
Bagasi kabin adalah barang yang dibawa
oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
Pasal 1 angka 22,
tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk
mengganti kerugian yang di derita oleh penumpang dan pengirim barang serta
pihak ketiga.
Pasal 1 angka 24,
menjelaskan pengertian tentang bagasi tercatat adalah barang penumpang yang
diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara
yang sama.
Pasal 1 angka 25,
menjelaskan pengertian tentang bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh
penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
Dalam kasus diatas
rusaknya bagasi tersebut adalah bagasi tercatat. Berdasarkan kronologis kasus
diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya kerusakan bagasi
tercatat disebabkan karena kesalahan, kelalaian, dan kurangnya unsur kehati-hatian
oleh pihak pengangkut, bagaimana prosedur pengajuan ganti rugi atas terjadinya
kerusakan bagasi tercatat milik penumpang. Dengan adanya permasalahan tersebut
maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam suatu karya tulis
ilmiah skripsi dengan judul :
“Tanggung
Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Kerusakan Bagasi Penumpang Penerbangan
Domestik Pada PT. Garuda Indonesia Airlines”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang tersebut di atas maka dapat dikemukakan pokok permasalahan
sebagai berikut yaitu :
1. Bagaimana
bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlines
atas kerusakan bagasi tercatat penumpang berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan ?
2. Apa
sajakah yang menjadi faktor penghambat serta upaya dalam pemberian ganti
kerugian bagi penumpang yang mengalami kerusakan bagasi pada PT. Garuda
Indonesia Airlines ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah
Batasan permasalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting karena tanpa adanya batasan
permasalahan dimungkinkan terjadinya pembahasan yang tidak relevan sehingga
menyebabkan penyimpangan yang terlalu jauh mengenai objek yang akan dibahas.
1.
Adapun ruang lingkup yang pertama yaitu
terbatas pada bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlinesatas kerusakan bagasi tercatat berdasarkan UU No. 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan;
2.
Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup
permasalahan dibatasi pada faktor penghambat dalam pemberian ganti kerugian
bagi penumpang yang mengalami kerugian.
1.4 Orisinalitas
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan pada ide, gagasan, dan
pemikiran sendiri, serta hasil membaca dari berbagai literatur. Berdasarkan
informasi dan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan
perpustakaan Hukum Universitas Udayana, sepanjang yang diketahui dari
hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka ditemukan penelitian yang sejenis
namun memiliki perbedaan substansi, yaitu sebagai berikut :
NO
|
JUDUL
|
RUMUSAN MASALAH
|
PENULIS
|
1
|
Perlindungan
Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara (studi Kasus Pada PT. Garuda Indonesia.
|
a.
Bagaimana perlindungan hukum pada konsumen selaku
pengguna jasa Garuda Indonesia Airways
?
b.
Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penumpang
yang dirugikan akibat resiko operasional penerbangan?
|
Vinna
Vanindia, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Tahun 2010
|
2
|
Perlindungan
Hukum terhadap penumpang pada Transpotasi Udara Niaga.
|
a.
Bagaimanakah peraturan mengenai perlindungan hukum
terhadap penumpang pada trasnpotasi udara niaga berjadwal nasional ?
b.
Upaya hukum apakah yang dapat ditempuh oleh
penumpang yang mengalami kerugian dalam kegiatan transpotasi udara niaga?
|
Ahmad
Zazili Fakultas Hukum Universitas Diponogoro Tahun 2008.
|
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.5.1
Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari
penelitian skripsi ini adalah :
1. Untuk
mengetahui bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlines terhadap kerusakan bagasi tercatat penumpang;
2.
Untuk mengetahui faktor penghambat dalam
pemberian ganti kerugian bagi penumpang.
1.5.2
Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus
dari penelitian skripsi ini adalah :
1.
Untuk mendalami bentuk tanggung jawab PT.
Garuda Indonesia Airlines terhadap
kerusakan bagasi tercatat penumpang;
2.
Untuk mendalami faktor penghambat dalam
pemberian ganti kerugian bagi penumpang.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
1. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang
hukum berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang;
2. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, atau bacaan tambahan bagi mahasiswa
fakultas hukum dan masyarakat luas;
3.
Penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan dasar bagi bahan penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.
1.6.2
Manfaat praktis
1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan bagi para praktisi khususnya dalam tanggung jawab penerbangan, yaitu
pihak pengangkut PT. Garuda Indonesia Airlines
yang terlibat langsung dalam penerbangan;
2. Sebagai
wujud nyata penelitian yang penulis lakukan untuk memperoleh bahan informasi
dalam menganalisa serta sebagai pemecahan masalah bagi permasalahan yang dihadapi
penulis, khususnya mengenai perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa
penerbangan atas terjadinya kehilangan barang dalam bagasi;
3. Bagi
pengguna jasa penerbangan dapat dijadikan pedoman dalam mempertahankan
hak-haknya sebagai konsumen dalam rangka perlindungan hukum bagi pengguna jasa
penerbangan.
1.7
Landasan Teoritis
Penelitian ini akan
menjelaskan suatu landasan teoritis yang menjadi dasar berfikir dalam pokok
permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai tanggung jawab perusahaan
penerbangan terhadap kerusakan bagasi milik penumpang pada penerbangan
domestik. Ada beberapa teori yang dipakai untuk membahas permasalahan pada
penelitian ini yaitu teori perlindungan hukum, teori proses penyelesaian bentuk
tanggung jawab pihak maskapai terhadap penumpang yang mengalami kerusakan
bagasi dan teori tanggung jawab.
Sudikno Mertokusumo
memberikan definisi yang dimaksud dengan hukum yaitu “hukum adalah kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum, bersifat umum
berarti menentukan bagaimana cara untuk melaksanakan kepatuhan pada kaedah
kaedah.”[5]
1.7.1 Teori perlindungan hukum
Teori Perlindungan
Hukum Menurut Philiphus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan
harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku
di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan
hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya
lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan
kepada pihak yang melanggarnya. Teori perlindungan hukum menurut Philiphus M.
Hadjon ada dua yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum
represif.[6]
Dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen maka lahirlah perlindungan
konsumen. Perlindungan konsumen adalah suatu istilah yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.[7]
Pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam Pasal 1
angka 1 menyebutkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan
konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karena menjadi harapan
bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkan.[8]
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :
1. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan
informasi serta menjamin kepastian hukum;
2. Melindungi
kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha;
3. Meningkatkan
kualitas barang dan pelayanan jasa;
4. Memberikan
perlindungan pada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan;
5.
Mengadukan pelanggaran, pengembangan dan
pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang lain.[9]
1.7.2 Teori tanggung jawab
Pada kalangan ahli
hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan responsibility atau terkadang disebut dengan liability. Tanggung jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya,
sedangkan tanggung jawab dalam arti liability
adalah sikap hukum untuk mempertanggung jawabkan pelanggaran atas kewajibannya
atau pelanggaran atas hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum
adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila
dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi. Secara umum teori tanggung
jawab berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam hukum perlindungan
konsumen dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Tanggung
jawab hukum atas dasar kesalahan, tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat
dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum.
Menurut Pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian
terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian
itu mengganti kerugian;[10]
2. Tanggung
jawab praduga bersalah, tanggung jawab praduga bersalah berarti pihak tergugat
selalu dianggap bersalah sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Beban
pembuktian ada pada si tergugat, beban pembuktian seperti ini dikenal dengan
sebutan beban pembuktian terbalik atau pembuktian negatif. Dasar pembuktian
dari teori ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan
dapat membuktikan sebaliknya, sehingga jika teori ini digunakan maka yang
berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha atau
penyedia jasa;[11]
3.
Tanggung jawab hukum tanpa bersalah /
mutlak (liability without fault / strict
liability). Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha khususnya produsen
barang atau jasa yang produknya merugikan konsumen. Prinsip ini menyatakan
bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya.
Prinsip tanggung jawab ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas
dasar perilaku berbahaya yang merugikan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya
kesengajaan atau kelalaian[12].
1.7.3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (yang selanjutnya
disingkat UU Penerbangan).
Berkaitan dengan
pembahasan maka akan diuraikan beberapa poin UU Penerbangan yang akan digunakan
untuk membahas rumusan masalah.
Dalam Pasal 143 UU Penerbangan, ditegaskan
bahwa pengangkut tidak bertanggung
jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila
penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan
pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Jumlah ganti kerugian untuk bagasi
kabin ini ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang (lihat Pasal 167 UU Penerbangan).
Pasal 144 UU Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang
diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam
pengawasan pengangkut. Lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 144 bahwa
yang dimaksud dengan "dalam pengawasan pengangkut" adalah sejak barang
diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan
barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan.
1.7.4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Pengertian konsumen
menurut Pasal 1 angkat 2 UUPK konsumen adalah "setiap orang pemakai
barang/atau jasa yang tersedia didalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan". Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli, secara tegas dinyatakan bahwa konsumen
adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk
kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Kedua pengertian diatas
terdapat perbedaan dimana pengertian konsumen yang terdapat dalam UUPK lebih
luas jika dibandingkan dengan pengertian yang tercantum di dalam UULPM, yaitu
konsumen tidak terbatas pada manusia semata melainkan juga kepada makhluk hidup
lainnya.
Menurut Hondius pakar
masalah konsumen di Belanda menyatakan pengertian konsumen adalah konsumen
dalam arti luas mencakup dua kriteria yaitu konsumen bukan pemakai terakhir
(konsumen antara) dengan konsumen pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa.[13] Menurut
Pasal 4 UUPK mengenai hak-hak konsumen yaitu salah satunya konsumen berhak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya dan berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dari Pasal
tersebut dapat digunakan sebagai pengganti atau pendukung ketika konsumen
dirugikan akibat kerusakan bagasi. Disebutkan pula kewajiban dari pelaku usaha
di dalam Pasal 7 UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dapat dikatakan
bahwa dengan menggunakan teori diatas akan dilakukannya penelitian dan
pembahasan terhadap rumusan masalah yang ada.
1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis penelitian
Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian yang melakukan
dengan observasi atau penelitian dengan secara langsung terjun kelapangan guna
untuk mendapatkan kebenaran yang akurat dalam penulisan penelitian.
1.8.2
Jenis pendekatan
Dalam
penulisan penelitian ini dikaji dengan menggunakan pendekatan penggabungan dua
pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis dan konsep hukum.
Yang disajikan secara konkrit dengan hasil yang diperoleh melalui turun
langsung dilapangan maupun melalui penelusuran perpustakaan.
1.8.3
Sifat penelitian
Sifat
penelitian yang digunakan bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara
tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau
untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.8.4
Sumber data
Sumber data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data
sekunder.
1. Sumber
data primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui
penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari obyeknya. Dari memperoleh data
primer melalui turun langsung di lapangan dilakukan dengan cara wawancara
melalui proses tanya jawab lisan melalui pihak yang terkait dalam permasalahan penelitian
ini sehingga memperoleh data lebih mendalam dan akurat seperti wawancara dengan
para pegawai Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
2. Sumber
data sekunder
Data sekunder berupa bahan hukum primer yang akan
dikaji berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap penumpang transpotasi udara niaga yaitu :
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
c. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan;
d. Peraturan
Menteri perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara;
e. Keputusan
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Bahan hukum sekunder,
yang digunakan berupa bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum
primer meliputi literatur-literatur ilmu pengetahuan hukum dan hukum
pengetahuan, dan jurnal yang penulis peroleh dari perpustakaan dan
artikel-artikel yang berhubungan dengan permasalahan.[14] Penelitian
ini juga akan menggunakan internet sebagai media dalam penelusuran data yang
memiliki relevansi dengan topik penelitian, yaitu dengan cara mengunjungi
situs-situs internet yang memuat tulisan-tulisan atau data yang berkenan dengan
transpotasi udara, dan beberapa situs internet yang lain yang relevan dengan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, misalnya situs internet maskapai
penerbangan.[15]
1.8.5
Teknik pengumpulan data
Teknik
dari pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.
Teknik dokumentasi
Teknik
ini digunakan dengan cara mengumpulkan berdasarkan data yang berdasarkan
berbentuk tulisan melalui memahami data-data yang sesuai dengan hukum dari
permasalahan yang dikaji berupa literatur, dokumen, dll.
2. Teknik
wawancara
Dalam teknik
wawancara ini untuk mendapatkan informasi yang nyata dengan cara tanya jawab
kepada pihak informan untuk memperoleh data-data melalui dokumen atau
memperoleh dilapangan terkait dengan penelitian ini. Informan dari penelitian
ini adalah staf yang bekerja di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali. Narasumber
dari penelitian ini adalah atasan dan beberapa staf bandara, serta Responden
dari beberapa penumpang.
1.8.6 Teknik penentuan sampel penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian yang dipergunakan
dalam menyusun skripsi ini adalah teknik non
probability sampling yaitu purposive
sampling yang dimana penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan
tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang
mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah
memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik
tertentu yang mengetahui, mengerti dan mampu menjawab terkait permasalahyang merupakan
ciri utama dari populasinya.
Jadi
berdasarkan penjelasan tersebut karakteristik populasi dan sampel yang menjadi
objek penelitian ini adalah staf Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali. Dalam hal ini
memilih untuk melakukan penelitian di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, karena
ingin mengetahui bentuk-bentuk tanggung jawab pihak maskapai terhadap kerugian
konsumen, apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan.
1.8.7
Teknik analisis data
Dalam
penelitian ini teknik menganalisis data diperlukan teknik analisis bahan hukum
kualitatif terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Kemudian dari
data-data yang terkumpul diolah dengan cara menyusun secara sistematis sehingga
diperoleh gambaran secara utuh untuk memudahkan dalam mengambil suatu kesimpulan.
BAB
II
TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG
JAWAB, PERUSAHAAN PENERBANGAN, GANTI RUGI, BAGASI, PT GARUDA INDONESIA AIRLINES
2.1 Tanggung Jawab
2.1.1
Pengertian tanggung jawab
Tanggung jawab adalah keadaan berkewajiban
menanggung, memikul jawab, mananggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab
dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab
adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun
yang tidak disengaja.
Tanggung Jawab juga berarti berbuat sebagai
perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati,
artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti
dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka
ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung
jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan
dari sisi kepentingan pihak lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
dimaksud dengan tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan.Tanggung
jawab adalah keadaan berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya, atau
memberikan jawab dan menanggung akibatnya[16].
Pengertian tanggung jawab secara umum adalah kesadaran manusia akan tingkah
laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung
jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Adapun definisi tanggung jawab secara
harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga
berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh
pihak lain. Jadi, tanggung jawab adalah sebuah perbuatan yang dilakukan oleh
setiap individu yang berdasarkan atas kewajiban maupun panggilan hati
seseorang. Yaitu sikap yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki sifat
kepedulian dan kejujuran yang sangat tinggi. Tanggung jawab itu bersifat
kodrati, artinya sudah merupakan bagian dati kehidupan manusia, bahwa setiap
manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung
jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian,
maka tanggung jawab dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang
berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.
Tanggung Jawab adalah ciri manusia beradab
(berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik
atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan mengabdian
atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung
jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap manusia harus mempunyai rasa tanggung
jawab, dimana rasa tanggung jawab itu harus disesuaikan dengan apa yang telah
kita lakukan. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengajamaupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudankesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab itu
bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup dari manusia bahwa setiap
manusia dibebani dengan tangung jawab. Apabila dikaji, tanggung jawab itu
adalah kewajiban yang harus dipikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang
berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa
bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu
dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.
2.1.2
Prinsip-prinsip tanggung jawab :
1. Tanggung
jawab berdasarkan unsur kesalahan
Teori
ini menyatakan bahwa seorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang diberlakunya.
2. Praduga
untuk selalu bertanggung jawab
Teori
ini menyatakan bahwa tergugat selalu dapat dianggap bertanggung jawab sampai ia
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
3. Praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab
Teori
ini adalah kebalikan dari prinsip kedua, dimana pelaku usaha tidak dapat
diminta pertanggung jawabannya dan konsumenlah yang menanggung segala resiko.
Teori praduga untuk tidak bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup
transaksi konsumen yang sangat terbatas.
4.
Tanggung jawab mutlak
Teori tanggung
jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk
meminta pertanggung jawaban pelaku yang memasarkan produknya yang merugikan
konsumen memasarkan produknya yang merugikan konsumen.[17]
Dalam hukum
perlindungan konsumen pelaku usaha harus dapat dimintakan pertanggung jawaban,
yaitu jika perbuatannya telah melanggar hak-hak dan kepentingan konsumen,
menimbulkan kerugian atau kesalahan konsumen terganggu.[18]
Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen
dengan konsumen tetapi terdapat tanggung jawab masing-masing. Atas dasar
keterkaitan yang berbeda maka pelaku usaha melakukan kontak dengan konsumen
dengan tujuan tertentu yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan peningkatan produktifitas dan efisiensi. Sedangkan konsumen hubungannya
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup.
Dengan demikian
pengertian tanggung jawab pelaku usaha yaitu keadaan yang disebabkan oleh
pelaku usaha yang berkaitan dengan pembuatan produk yang terjadi karena kesalahan,
kelalaian dang kurang hati-hati, sehingga mewajibkan pelaku usaha sebagai
pembuat produk menanggung segala akibatnya sebagai resiko dari perbuatan
tersebut.
2.2 Perusahaan Penerbangan
2.2.1
Pengertian perusahaan penerbangan
Perusahaan penerbangan
adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk
mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman, dan benda pos dengan
pesawat udara. Perusahaan penerbangan juga diartikan sebuah organisasi yang
menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau brang.[19]
Dari beberapa
pengertian dapat di simpulkan pengertian perusahaan penerbangan adalah suatu
perusahaan angkutan udara yang memberikan dan menyelenggarakan pelayanan jasa
angkutan udara yang mengeoperasikan dan menerbitkan dokumen penerbangan dengan
teratur dan terencana untuk mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang
kiriman, dan benda pos ke tempat tujuan[20].
2.2.2
Syarat-syarat dan izin usaha perusahaan
penerbangan
Berdasarkan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, disebutkan bahwa :
1. Mendapat
ijin usaha dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
2. Ijin
tersebut meliputi :
a. Izin
usaha angkutan udara niaga berjadwal;
b. Izin
usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal.
3.
Izin tersebut berlaku dan akan
dievaluasi setiap 3 tahun, pemegang izin harus menjalankan usaha secara nyata
dan beroperasi terus menerus ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 25 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Lampiran
permohonan izin :
a. Akta
pendirian perusahaan dalam bentuk PT, telah disahkan oleh menteri yang
berwenang dan salah satu pokok usahanya dibidang angkutan udara niaga berjadwal
/ tidak berjadwal;
b. Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. Surat
keterangan domisili diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
d. Surat
persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal daerah apabila yang
bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman modal;
e. Tanda
bukti modal;
f. Bank
garansi / jaminan bank;
g. Rencana
bisnis dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 5 tahun.
Syarat a-f menurut Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 diserahkan dalam bentuk salinan yang
telah dilegalisir oleh instansi yang mengeluarkan, apabila diperlukan direktorat
jenderal dapat meminta pemohon menunjukkan dokumen aslinya. Jenis dan jumlah
pesawat udara yang akan dioperasikan yaitu :
1. Angkutan
udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 pesawat udara dan menguasai 5
unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan
rute yang dilayani;
2. Angkutan
udara niaga tidak berjadwal memiliki 1 unit pesawat udara dan menguasai 2 unit
pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute
yang dilayani;
3.
Angkutan udara niaga khusus mengangkut
kargo memiliki paling sedikit 1 unit pesawat udara dan menguasai 2 unit pesawat
udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau
daerah operasi yang dilayani.
2.3 Ganti Rugi
2.3.1
Pengertian ganti rugi
Ganti
rugi apabila undang-undang menyebutkan rugi, maka yang dimaksud adalah kerugian
nyata yang dapat diduga atau di perkirakan pada saat perikatan diadakan, yang
timbul sebagai akibat ingkar janji[21].
Jumlah ganti rugi ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan
kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak
terjadi ingkar janji[22].
Ganti rugi sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 19 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 hari kalender setelah tanggal transaksi.
Definisi
dari ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata,
penggantian biaya kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, tetap
melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya. Perngertian kerugian dalam Pasal 1243 KUHPer
ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi. Kerugian
tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai.[23]
2.3.2
Jenis dan macam ganti rugi
1. Ganti
rugi dalam kontrak syaratnya kesulitan bila terjadi wanprestasi, merupakan
estiminasi masuk akal dan adil, masuk akal ketika diprediksi, terjadinya inconvenience, tidak feasible jika tidak ditetapkan;
2. Ganti
rugi dalam bentuk ekspektasi yaitu ganti rugi dihitung dari jumlah yang
dikeluarkan dan ditambah keuntungan bila seandainya kontrak tidak wanprestasi;
3. Ganti
rugi dalam bentuk pergantian biaya yaitu mengganti biaya yang telah dikeluarkan
dalam bentuk out of pocket, keadaan
dikembalikan seolah-olah kontrak tidak pernah terjadi;
4. Ganti
rugi dalam bentuk pergantian restitusi yaitu pengambilan suatu nilai tambah
yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi
sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan
wanprestasi;
5.
Quantum
merit yaitu bentuk lain dari restitusi yaitu bila
pengembalian kepada pihak yang dirugikan bukan berupa manfaat melainkan dalam
bentuk reasonable value atau nilai
wajar dari hasil kontrak yang telah dilakukan[24].
2.4
Bagasi
2.4.1
Pengertian bagasi
Menurut
Suharto mendefenisikan bahwa “bagasi merupakan suatu artikel, harta benda
berharga atau barang-barang pribadi milik penumpang yang diijinkan oleh
maskapai penerbangan untuk diangkut ke dalam pesawat dan merupakan kebutuhan
penumpang selama melakukan perjalanan”.[25]
Pengertian bagasi itu sendiri telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Bagasi adalah barang bawaan penumpang yang berisi barang-barang
kebutuhan penumpang yang akan digunakan selama dalam perjalanan, yang diijinkan
oleh airline untuk diangkut dalam pesawat udara.
Bagasi memiliki 4 arti,
bagasi adalah sebuah homonym karena
arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Bagasi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga bagasi dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. Bagasi atau barang bawaan terdiri dari tas, kotak, dan kontainer
yang memuat artikel milik pelancong saat sedang dalam perjalanan.
Penanganan bagasi
penumpang haruslah melalui prosedur yang ditetapkan oleh IATA (International Air Transport Association),
pada proses ground handler ini
memiliki urutan dari pemeriksaan bagasi oleh security check, penimbangan bagasi dan pelebelan bagasi serta diberikan
baggage claim tag, lalu melakukan
pembayaran apabila bagasi melebihi ketentuan. Kemudian bagasi dibawa dan
dimasukan ke dalam pesawat (loading
proses), setelah sampai di stasiun tujuan bagasi akan diturunkan atau
dibongkar (unloading proses) oleh
petugas bagasi lalu dibawa ke bagian pengambilan bagasi (baggage claim area).
Beberapa aspek yang
tidak boleh diabaikan dari baggage
handling adalah:
1. Safety & Secure
(keamanan & keselamatan);
2. Punctuality
(ketepatan waktu);
3. Reability
(kehandalan pelayanan yang di berikan);
4.
Costumer
Satisfication (kepuasan pelanggan, yang dalam hal ini
berupa penumpang dan pihak airlines).[26]
Penumpang akan
mengambil bagasi mereka di conveyor belt
atau baggage claim area. Setelah
mereka mendapatkan bagasi yang dikehendaki, mereka harus menyerahkan nomor
label bagasi yang tertempel pada boarding
pass atau tiket awal pada petugas bagasi untuk mencocokkan apakah bagasi
yang sudah diambil benar milik mereka dan menghindari tertukarnya bagasi dengan
penumpang lain. Karena, apabila penumpang sudah keluar dari pintu kedatangan / arrival gate segala bentuk keluhan atau complaint mengenai bagasi tidak akan
diterima oleh petugas baggageservice.
Namun jika pada saat penumpang mengambil bagasi mendapati bagasi hilang, rusak,
penumpang diharapkan melapor kepada petugas baggage
service atau unit lost and found
untuk segera ditidaklanjuti.[27]
Menurut Airport Handling Manual (AHM 810)
tentang IATA standart ground handling
agreement, annex a ground handling service, section 4, sub section 4,
meliputi:
1. Baggage handling,
yang menangani bagasi di baggage sorting area
dan penyiapan pengiriman / pengantaran kedalam pesawat;
2. Menetapkan
berat bagasi yang disusun;
3. Menurunkan
atau mengeluarkan bagasi dari kendaraan, membongkar dan mengosongkan tempat bagasi,
memeriksa bagasi yang datang;
4. Memisahkan
bagasi transfer dan menyimpan bagasi transfer dalam suatu periode sampai waktu
keberangkatan / pengiriman;
5. Menyediakan
atau mengatur pengangkutan bagasi ke sorting
area dari departemen yang akan menerima;
6.
Menangani bagasi awak pesawat (crew baggage) sesuai dengan kesepakatan
bersama.[28]
2.4.2
Jenis-jenis bagasi
Pengangkutan barang
merupakan salah satu bentuk produk atau layanan perusahaan penerbangan. Hampir
setiap penumpang yang menggunakan jasa transportasi udara membawa barang baik
barang keperluan sehari-hari atau barang untuk dijual kembali. Barang-barang
yang dibawa tersebut beraneka ragam jenis antara lain pakaian, perhiasan, alat
elekrtonik dan lain-lain. Dalam kegiatan penerbangan, barang biasanya disebut
dengan bagasi. Bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada dua macam,
yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin.
Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 25
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, bagasi tercatat dan bagasi
kabin dibedakan sebagai berikut:
1. Bagasi
tercatat adalah bagasi yang terdaftar dan diangkut di dalam pesawat yang biasa
disebut cargo compartment. Untuk
prosedurnya bagasi ini sebelumnya harus ditimbang dahulu di check-in counter dan beratnya harus
sesuai apabila melebihi daya angkut maka penumpang akan dikenakan biaya bagasi
lebih dan itu tergantung dari perusahaan penerbangan itu sendiri. Bagasi
penumpang akan mendapatkan label yang biasa disebut claim tag dan itu tandanya bagasi ini telah terdaftar. Fungsi dari claim tag adalah bukti dari kepemilikan
bagasi, dan apabila penumpang mengalami kerusakan maupun kehilangan maka claim tag ini akan diserahkan ke bagian lost and found yang bekerja melacak
bagasi tersebut. Untuk menghindari kerusakan pada bagasi atau isinya selama
perjalanan, pihak maskapai memberikan beberapa ketentuan, yaitu :
a. Agar
penumpang mengemas barang bawaan dalam koper yang layak;
b. Menempelkan
tanda atau label identifikasi berisi alamat dan nomor telepon pada bagasi penumpang.
Jika bagasi hilang, identifikasi ini memungkinkan pihak pengangkut untuk
menemukannya;
c. Untuk
melindungi barang-barang bawaan dan mencegah kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan,
pihak pengangkut mengingatkan agar penumpang tidak menempatkan barang yang
mudah pecah, mudah busuk, atau barang pribadi penting;
d. Bagi
penumpang yang membawa perangkat elektronik dengan baterai litium ion di bagasi tercatat, harus memastikan bahwa :
1) Penumpang
melakukan langkah-langkah untuk melindungi perangkat dari kerusakan dan untuk mencegah
aktivasi tanpa sengaja. (Membungkus dengan kain / material bantalan lain atau dikemas
dalam paket yang kokoh);
2) Perangkat
harus benar-benar dimatikan. (Bukan dalam mode siaga, tidur, atau hibernasi);
3) Untuk
menghindari cedera pada Porter (petugas
bagasi), berat bagasi tercatat tidak boleh melebihi 32 kg per buah. Jika bagasi
tercatat melebihi 32 kg per buah, akan diminta untuk mengemas ulang. Untuk
benda tertentu yang melebihi 32 kg per buah, penumpang diharapkan untuk hubungi
kantor reservasi pihak maskapai terlebih dahulu dan untuk mendapatkan
persetujuan minimal 24 jam sebelum keberangkatan penerbangan;
2. Bagasi
kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan
penumpang sendiri ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan Pasal 1 angka 24 dan 25. Bagasi kabin hanya mencakup barang / benda
yang cocok untuk dibawa ke dalam kabin pesawat. Barang-barang yang boleh dibawa
masuk ke dalam kabin pesawat adalah tas untuk diletakkan di bagasi kabin yang
berisi barang-barang tidak berbahaya dan barang pribadi lain yang berukuran
kecil. Barang berukuran kecil yang boleh dibawa ke dalam pesawat adalah :
a. Tas
tangan atau dompet;
b. Buku
saku;
c. Laptop
beserta tasnya;
d. Kamera
kecil;
e. Makanan
bayi atau makanan dengan diet khusus;
f. Payung;
g. Tongkat;
h. Barang
bebas pajak.
Untuk
cairan, aerosol, ataupun gel pihak maskapai juga memiliki peraturan tertentu
jika ingin dibawa ke kabin, yaitu :
a. Tidak
boleh lebih dari 100 ml per kemasan;
b. Harus
ditempatkan di dalam wadah yang tidak mudah terbuka dan tumpah.
3.
Unaccompanied
baggage / luggage adalah barang bawaan penumpang yang
dikirim atau diangkut sebagai kargo. Barang bawaan tersebut diangkut terlebih
dahulu atau diangkut belakangan pada penerbangan selanjutnya. Biaya angkutnyapun
diberlakukan sebagai layaknya kargo (berat minimal per kilogram, jarak dan rute
yang ditempuh, jenis barang, media pembungkus, dokumen yang digunakan, dll).
Namun menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan ada pula beberapa jenis barang atau
benda yang tidak diperkenankan untuk dibawa oleh penumpang baikbagasi tercatat maupun
bagasi kabin, yaitu :
1. Bahan
peledak, peluru, petasan dan kembang api;
2. Gas
bertekanan seperti butane, oksigen, propane, aqualung;
3. Benda
padat yang mudah terbakar seperti korek api, cat, danthiner;
4. Zat
oksidasi seperti bleaching powder dan
peroksida;
5. Tas
kantor dan tas yang dilengkapi alat pengaman berisi alaramn di dalamnya;
6. Zat
beracun seperti cyanides, arsenic;
7. Radio active
material;
8. Corrosive
material seperti mercury dan wet batteries;
9.
Bahan-bahan yang mengandung magent.
2.5
PT.Garuda Indonesia Airlines
PT. Garuda Indonesia Airlines adalah maskapai penerbangan
nasional Indonesia. Garuda adalah nama wahana tunggangan Dewa Wisnu dalam
mitologi India kuno. Pada tahun 2007, maskapai ini bersama dengan maskapai
Indonesia lainnya (termasuk anak perusahaan Garuda Indonesia, Citilink),
dilarang terbang menuju Eropa karena kejadian yang menimpa pesawat Garuda Indonesia
nomor penerbangan 200. Setahun kemudian, maskapai ini menerima sertifikasi IATA
Operational Safety Audit (IOSA) dari
IATA yang menunjukkan Garuda Indonesia telah memenuhi standar keselamatan
penerbangan Internasional. Perbaikan layanan dan meningkatnya kualitas layanan
maskapai membuat Garuda menjadi pemenang kategori "World's Most Improved Airline" dari Skytrax. 1 Juni 2010 menjadi hari bersejarah bagi Garuda Indonesia,
dimana pembukaan kembali rute Amsterdam dilaksanakan menggunakan Pesawat Airbus
A330-200 dengan perhentian di Dubai.[29]
Pada bulan Juni 2012, Garuda Indonesia dengan klub sepak bola Liverpool FC,
Inggris mengadakan perjanjian kerjasama dan kini merupakan sponsor global untuk
Liverpool FC. Tahun 2013, Garuda Indonesia mendapat dua penghargaan dari Skytrax yaitu "World Best Economy Class" dan "World Best Economy Class Seat". Pada pertengahan tahun 2014,
Garuda Indonesia mendapat penghargaan "World's
Best Cabin Crew".[30]
Pada tanggal 5 Maret
2014, Garuda Indonesia resmi bergabung dengan aliansi SkyTeam sebagai anggota ke-20 yang peresmiannya berlangsung di
Denpasar, Bali. Pada tanggal 30 Mei 2014, Garuda Indonesia melayani rute ke
Amsterdam dengan nonstop menggunakan
pesawat Boeing 777-300ER yang memiliki kabin terbaru dari semua armada. Pada
tanggal 8 September 2014, Garuda Indonesia memperpanjang rute penerbangannya
menuju London. Pada tanggal 11 Desember 2014, bertepatan dengan mundurnya Dirut
Garuda Indonesia saat itu, Emirsyah Satar, Garuda Indonesia mendapat anugerah
penghargaan sebagai maskapai "berbintang 5" sedunia dari Skytrax dan menjadi anggota dari 8
maskapai dunia yang mendapat penghargaan tersebut.[31]
Maka pada tanggal 28
Desember 1949, penerbangan bersejarah menggunakan pesawat DC-3 dengan
registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair terbang membawa Presiden Soekarno
dari Yogyakarta menuju Jakarta untuk menghadiri upacara pelantikannya sebagai
Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan nama Garuda Indonesian Airways, yang diberikan oleh Presiden
Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.
1.
Dekade 1920-1930-an: Perintis
transportasi udara
Berhasilnya
penerbangan pertama yang diawali oleh Wright Bersaudara pada Tahun 1903 di
Kitty Hawk, Carolina Utara. Membuat para penerbang lain bermunculan dan mulai
melakukan berbagai penjelajahan yang luar biasa seperti yang dilakukan oleh
Charles Lindbergh yang melakukan penerbangan dari New York menuju Paris
melintasi Samudera Atlantik yang dinilai sebagai salah satu pencapaian
fantastis pada saat itu, tak hanya menggugah para masyarakat yang kelak menjadi
penerbang yang ulung, tapi juga mendorong para negara penjajah untuk
memanfaatkan daerah jajahannya dengan melengkapi teknologi yang baru saja
diadakan ini, termasuk Belanda.[32]
Belanda
dalam rangka memperkuat sistem penjajahannya, mereka memperkuat sistem
perhubungan yang berpengaruh, dengan mendirikan perusahaan tranportasi udara
yang bernama KNILM pada tanggal 24 Oktober 1928 dengan modal sebesar 5 juta
Gulden yang dihimpun dari 32 perusahaan dan pengusaha besar. Kemudian, dana
yang telah dikumpulkan ini digunakan untuk mendatangkan pesawat jenis Fokker
VIII Trimotor yang berjumlah sebanyak 4 armada dari Belanda. Setelah menempuh
perjalanan yang rentang waktunya berbeda-beda, operasional pertama KNILM
diresmikan pada tanggal 1 November 1928 oleh Gubernur Jenderal Belanda, De
Graef yang disaksikan oleh H. Nieuwenhuis sebagai kepala KNILM, TH.J. De Bruyn
sebagai kepala administrasi keuangan dan Behege sebagai kepala dinas teknik
serta Meal De Jong sebagai handelszaken (Kepala Bagian Niaga) bersama warga
Batavia di Bandara Cililitan. Setelah berkembang lama, maskapai ini mati akibat
Perang Dunia 2 yang diakibatkan oleh invasi Jepang ke Asia Tenggara.[33]
2.
Awal pendirian, perjuangan, dan menjadi
maskapai nasional
Setelah
penerbangan KNILM bubar pada bulan Maret 1942 bersamaan dengan Hindia Belanda
jatuh ke tangan Jepang, Belanda kembali mendirikan maskapai lagi yang bernama
KLM Interinsulair Bedrijf pada tanggal 1 Agustus 1947 atau setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu dan Belanda kembali ke Hindia Belanda. Tujuan Belanda
mendirikan KLM Interinsulair Bedrijf ini adalah untuk kembali melayani daerah
jajahannya dengan menggunakan pesawat Dakota sebanyak 20 unit yang merupakan
bekas pakai dari KLM. Namun, tak lama kemudian pada tanggal 28 Desember 1949
sebagai bagian dari pelaksanaan perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den
Haag, KLM IIB diserahkan kepada pihak Indonesia lalu diganti namanya menjadi
Garuda Indonesian Airways (GIA) (Sehingga hari tersebut dijadikan sebagai hari
jadi de facto Garuda Indonesia), di
mana satu Dakota beregistrasi PK-DPD yang membawa Presiden Soekarno terbang
dari Jogjakarta (ibukota perjuangan) menuju Jakarta (ibukota negara). Garuda
Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1950 dari KLM. Garuda Indonesia pada awalnya adalah hasil joint venture antara pemerintah
Indonesia dengan KLM dengan kalkulasi pemerintah Indonesia memiliki 51% saham.
Selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola oleh KLM. Tetapi karena
paksaan nasionalis, KLM menjual sebagian dari sahamnya pada tahun 1954 ke
Pemerintah Indonesia dan pada waktu yang bersamaan, maskapai ini memiliki 46
pesawat, termasuk 14 pesawat DeHavilland Heron yang dibeli
Garuda
antara 1953-1954. Tahun 1955, Garuda Indonesia meresmikan pelayanan penerbangan
haji menuju Jeddah dengan rute Jakarta - Bangkok - Kolkata - Karachi - Sarjah -
Jeddah menggunakan pesawat Convair CV-340.[34]
3.
Dekade 1960-1970-an: Perkembangan
signifikan dan berekspansi
Memasuki
dekade baru, garuda me-phase out De
Havilland Heronnya pada 1960. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka
menjualnya, Garuda menjual Heron mereka kepada Fujita Airlines asal Jepang, salah satunya jatuh pada 17 Agustus 1963.
Dekade ini merupakan dekade pembangunan sekaligus kemajuan untuk Garuda. Pada
tahun 1961, Garuda mendatangkan pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra,
ketiga pesawat baru itu masuk dinas aktif pada bulan Januari 1961 dan diberi
nama "Pulau Bali", "Candi Borobudur" dan "Danau
Toba", yang merupakan nama tujuan wisata Indonesia yang paling dikenal di
luar negeri, tahun 1963, Garuda membuka rute penerbangan menuju Tokyo dengan
pesawat L-188 dengan perhentian di Hongkong, rute ini kemudian dikenal dengan
nama "Emerald Route".[35]
Garuda
memasuki era jet pada tahun 1964 dengan datangnya tiga pesawat baru Convair
990A yang diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan
"Sriwijaya", yang merupakan nama kerajaan kuno di Indonesia dan
menjadikan Garuda Indonesia maskapai pertama di Asia Tenggara yang
mengoperasikan pesawat jet subsonik. Saat itu, jet bermesin empat Convair 990
merupakan pesawat berteknologi canggih dan memiliki kecepatan tertinggi
dibandingkan pesawat-pesawat lain yang sejenis, seperti Boeing 707 dan Douglas
DC-8. Dengan pesawat ini pula Garuda membuka penerbangan antarbenua dari
Jakarta ke Amsterdam melewati dengan rute Jakarta - Bangkok - Mumbai - Karachi
- Kairo - Roma - Frankfurt - Amsterdam Pada tahun 1966, Garuda kembali
memperkuat armada jetnya dengan mendatangkan sebuah pesawat jet baru, yaitu
Douglas DC-8. Sementara, pada akhir tahun 1960-an, Garuda membeli sejumlah pesawat
turboprop baru seperti, Fokker F27. Pesawat ini datang secara bertahap mulai
tahun 1969 hingga 1970 dari hasil penjualan beberapa pesawat berbadan lebar
untuk memenuhi pasar domestik yang terus berkembang. Pada 1970, rute menuju
Kairo diganti menuju Athena.[36]
4.
Dekade 1970-1980-an: Berkembang maju dan
mendunia
Dilanjutkan
pada dekade 1970-1980-an. Wiweko Soepono Dirut Garuda Indonesia, melakukan
program revitalisasi perusahaan yang mencakup perbaikan layanan, mengganti
sistem manajemen, anti-KKN, memperbarui dan menambah armada serta menambah rute
Domestik dan Internasional kemudian, beberapa pesawat di jual untuk menggarap
pasar domestik dengan Fokker F-27 dan Fokker F-28 dan pada pertengahan 1970an,
muncul di mana sebuah tren kenaikan jumlah penumpang yang naik pesawat dan tren
tersebut tidak disia-siakan oleh Wiweko dalam rencananya yang bernama Buy now
for tomorrow profit untuk membeli pesawat berbadan lebar dengan jarak jangkauan
yang jauh dan penumpang yang banyak yaitu, Boeing B747-200 dan Douglas DC-10-30
yang di peruntukkan Garuda menerbangi rute baru di Benua Asia, Australia dan
Eropa dan pada tahun 1982 Garuda Indonesia menjadi maskapai pengguna pertama
Airbus A300B4-600 FFCC (Modifikasi kokpit dengan 2 awak). Memiliki inisiatif
dan inovasi yang menarik di Garuda Indonesia, Wiweko yang menjabat menjadi Dirut
selama 16 tahun berhasil membawa GIA menjadi maskapai terbesar ke 2 se Asia
setelah Japan Airlines serta menjadi
maskapai terbesar dan berpengaruh di belahan bumi bagian Selatan.[37]
Kemudian
pada tahun 1985, pimpinan GIA digantikan oleh R.A.J Lumenta. Kemudian, Ia
melakukan re-branding terhadap
maskapai dengan mengubah nama dari Garuda Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesia dan memindahkan pangkalan utama
yang sebelumnya berada di Bandara Kemayoran dan Bandar Udara Halim
Perdanakusuma dipindahkan ke Soekarno Hatta dan melakukan perbaikan sistem
manajemen dan penambahan rute. Pada tahun 1985, Garuda Indonesia berhasil
merintis penerbangan menuju Amerika Serikat dengan Douglas DC-10-30 bersama
maskapai Continental Airlines dengan
destinasi Los Angeles dan berhenti di Denpasar-Biak-Hawai dengan menggunakan
logo spesial gabungan dari Continental
Airlines dan Garuda Indonesia.[38]
5.
Dekade 1990-2000-an: Kesulitan ekonomi,
kecelakaan beruntun dan reputasi buruk
Selama
dekade 1990an, Garuda Indonesia melakukan peremajaan armada dengan melakukan
pembelian armada pesawat 9 unit McDonnell-Douglas MD-11 yang datang pada tahun
1991 untuk mengganti peran sebagai Pesawat Douglas DC-10, yang diikuti oleh
berbagai seri keluarga Boeing 737 Classic yang datang tahun berikutnya, sebagai
pengganti DC-9, serta Boeing 747-400 yang datang tahun 1994, dengan skema
pembelian yang terdiri dari 2 dibeli langsung dari Boeing, 1 dibeli dari Varig
dan Airbus A330-300 yang datang tahun 1996. Pada masa ini juga, Garuda
Indonesia mengalami dua musibah besar yang terjadi di dua tempat yang memakan
korban dalam jumlah yang cukup besar, yaitu peristiwa Garuda Indonesia
Penerbangan 865 yang terbang dari Fukuoka, Jepang, dan satunya lagi terjadi pada
pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 152 yang bertempat kejadiankan di Desa
Sibolangit, Sumatera Utara. Musibah yang kedua ini menewaskan seluruh
penumpangnya, disamping itu, maskapai ini sejak 1997 juga terkena imbas Krisis
Finansial Asia yang juga membuat keuangan Indonesia menjadi lesu. Hal ini
membuat Garuda harus memotong semua rute yang tidak menguntungkan, terutama
rute jarak jauh menuju ke Eropa maupun Amerika. Disamping menutup rute jarak
jauh yang tidak menguntungkan, maskapai ini juga melakukan penyesuaian ulang
terhadap rute domestik yang ada, serta mengganti jumlah pesawat yang sudah tua
secara bertahap dengan menjual, mengalihkan dan memensiunkan armada Fokker F28
dan Airbus A300 yang ada.[39]
Deregulasi
maskapai penerbangan Indonesia yang dinaungi peraturan perundangan-undangan UU
No 5/1999 (membahas tentang pembatasan praktik monopoli usaha) dan SK Menteri
Perhubungan No 11/2001 (membahas tentang tata operasional awal maskapai
penerbangan dengan batasan armada minimal 2 pesawat), menyebabkan Garuda
Indonesia kehilangan hegemoni besarnya dalam pasar penerbangan Indonesia, yang
berakibat pada menurunnya pangsa kemilikan pasar Garuda Indonesia yang telah
kosong dan dimanfaatkan oleh maskapai berbiaya rendah seperti, Pelita Air Service, Awair, Lion Air dan Jatayu Airlines. Hal ini makin memperparah dan
menyudutkan posisi Garuda yang berada pada situasi yang sulit. Bagaimana tidak,
sudah merugi sejak tahun 1994 dan terus berutang tanpa membayar, ditambah lagi
dengan budaya kerja yang sangat birokratis dan lamban eksekusinya membuat
sistem yang ada menjadi "tidak ramah dengan ide dan kreativitas" yang
berakibat pada terhambatnya performa kompetitivitas Garuda Indonesia dengan
maskapai penerbangan lain, belum lagi dengan banyaknya pejabat yang memanfaatkan
hubungannya dengan maskapai ini untuk mendapat kemudahan tersendiri yang
berdampak pada rendahnya indeks ketepatan waktu yang tercermin pada seringnya
terjadi penundaan keberangkatan pesawat.[40]
Maskapai
penerbangan PT. Indonesian Airlines
Aviapatria (Indonesian Airlines)
didirikan tahun 1999 dan mulai beroperasi Maret 2001. Pada September 1999, ia
memperoleh izin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penerbangan berjadwal
di 46 rute. Perusahaan ini dimiliki oleh investor perorangan (75%) dan Rudy
Setyopurnomo (25%), Presiden Direktur maskapai ini. Indonesian Airlines
menghentikan operasinya pada tahun 2003. Setelah itu kantor pusatnya
digabungkan dengan Garuda Indonesia.Rudy Setyopurnomo kemudian bekerja pada
Grup RGM Group yang mengoperasikan 4
pesawat kecil.[41]
BAB
III
BENTUK
TANGGUNG JAWAB PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES
ATAS
KERUSAKAN BAGASI TERCATAT
3.1 Prinsip Tanggung Jawab Pada Umumnya Dalam
Pengangkutan
Sesuai dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam
mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian
itu. Pihak tersebut disini bisa berarti produsen / pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran / penjual ataupun pihak
yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Dari perikatan
yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu hukum yang
saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun
hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak.
Tanggung jawab (liability) dapat pula diartikan sebagai
kewajiban untuk membayar uang atau melaksanakan jasa lain, kewajiban yang pada
akhirnya harus dilaksanakan. UU Penerbangan mendefinisikan tanggung jawab
pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian
yang diderita oleh penumpang dan/atau barang serta pihak ketiga. Dengan
demikian dapat diartikan tanggung jawab (liability)
adalah kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita pihak lain, misalnya
dalam perjanjian pengangkutan udara, maskapai penerbangan bertangggung jawab
atas keselamatan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya sampai di tempat
tujuan. Oleh karena itu apabila timbul kerugian yang
diderita oleh penumpang maka maskapai
penerbangan harus bertanggung jawab dalam arti liability. Tanggung jawab di sini diartikan maskapai penerbangan
wajib membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan apabila ingkar
janji, maskapai penerbangan dapat digugat di pengadilan.
Menurut hukum tanggung
jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan. Tanggung jawab juga merupakan suatu upaya yang dijadikan jaminan
untuk konsumen jika konsumen mengalami kerugian[42].
Prinsip tentang
tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan
konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian
dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung
jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait[43].
Di
dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan setidaknya dikenal dengan adanya
3 prinsip tanggung jawab yaitu :
1.
Konsep tanggung jawab atas dasar
kesalahan (base on fault liability),
berdasarkan konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan, prinsip ini
dikenal pada tahap awal pertumbuhan hukum Romawi termasuk dalam doktrin “culpa” dalam lex aquilia. Lex aquilia
menentukan bahwa kerugian baik disengaja ataupun tidak harus selalu diberikan
santunan.[44]
Kelalaian
atau kesalahan produsen yang berakibat pada timbulnya kerugian konsumen
merupakan faktor penentu hak konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti rugi
kepada produsen. Tuntutan ganti rugi berdasarkan kelalaian produsen diajukan
dengan bukti-bukti lain yaitu, pertama pihak tergugat merupakan produsen yang
benar-benar mempunyai kewajiban untukmelakukan tindakan yang dapat menghindari
terjadinya kerugian konsumen. Kedua produsen tidak melaksanakan kewajibannya
untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk digunakan.
Ketiga konsumen menderita kerugian. Keempat kelalaian produsen merupakan faktor
yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen.
Tanggung
jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada
perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, apabila
menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak
sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut.
Tanggung jawab yang telah disebutkan ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 1365
KUH Perdata, Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum berlaku
umum terhadap siapapun. Menurut Pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
perbuatannya menimbulkan kerugian itu menimbulkan mengganti kerugian.
Tanggung
jawab pengangkut terbatas setinggi-tingginya sebesar kerugian penumpang. Konsep
tanggung jawab atas dasar kesalahan dirasakan adil apabila kedudukan kedua
belah pihak mempunyai kemampuan yang sama sehingga mereka dapat saling
membuktikan kesalahan.
2.
Konsep tanggung jawab hukum praduga
bersalah, penumpang atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan
pengangkut sebab pengangkut telah dianggap bersalah.
Tergugat
dianggap selalu bersalah kecuali tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah dapat mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan.
Dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja beban
pembuktian menjadi terbalik yaitu pada tergugat untuk membuktikan bahwa
tergugat tidak bersalah.
Menurut
konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah, perusahaan penerbangan dianggap
bersalah sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti
kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan
kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak
bersalah yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik[45].
3.
Konsep tanggung jawab mutlak, ketentuan
ini mencirikan pula bahwa UUP menganut konsep tanggung jawab mutlak berdasarkan
konsep tanggung jawab ini korban tidak perlu membuktikan kesalahan. Menurut
prinsip ini, bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam hal ini tergugat
selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan atau
tidak melihat siapa yang bersalah atau suatu prinsip pertanggung jawaban yang
memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan
apakah pada kenyataannya ada atau tidak ada. Pengangkut tidak mungkin beban
dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian bagi
penumpang atau pengirim barang. Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat
pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa
apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan.
Berdasarkan pada
asas-asas yang ada dalam hukum pengangkutan, maka ada hubungan timbal balik
antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Dan sebagai
pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki
tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang dipercayakan
kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.
3.2
Bentuk Tanggung Jawab Pengangkutan
Udara Atas Kerusakan Bagasi Tercatat Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Kasus
kerusakan bagasi sering terdengar di dunia penerbangan Indonesia. Hal ini
termasuk salah satu resiko saat terbang yang berhubungan dengan handling dari pihak ground handling maskapai maupun alasan lain. Kerusakan biasanya
terjadi pada bagasi yang tercatat saat check
in, namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada bagasi yang dibawa ke
kabin[46].
Dikutip dari Pasal 5
Permenhub 77/2011, besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan pihak
maskapai kepada penumpang adalah sebagai berikut :
1.
Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang
yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut:
a. Kehilangan
bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan
ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling
banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan
b. Kerusakan
bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan
merk bagasi tercatat.
2.
Bagasi tercatat dianggap hilang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14
(empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di
bandar udara tujuan.
3.
Pengangkut wajib memberikan uang tunggu
kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan, belum dapat
dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp. 200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.
Meski demikian, menurut
Pasal 6 ayat 1 dan 2, maskapai dibebaskan dari tuntutan ganti rugi terhadap
barang berharga yang disimpan dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat check-in penumpang telah menyatakan dan
menunjukkan bahwa di dalam bagasi tercatat terdapat barang berharga atau barang
yang berharga, dan pengangkut setuju untuk mengangkutnya. Maskapai biasanya
akan meminta penumpang untuk mengasuransikan bagasi tersebut.
Kerusakan bagasi saat
terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada
penumpang. Hal ini tertuang pada Peraturan Menteri Pehubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Dalam Pasal 2 huruf C
disebutkan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara (maskapai)
bertanggung jawab atas kerugian terhadap hilang, musnah atau rusaknya bagasi
tercatat.
Undang-Undang No. 1
Tahun 2009 tercipta dari munculnya Konvensi Cape
Town 2001 yang sebagian besar substansinya diadopsi oleh Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Angkutan
udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar
udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Sementara
pengertian dari tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan
udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim
barang serta pihak ketiga.
Pemerintah
mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan
mewajibkan seluruh maskapai penerbangan untuk memberikan pelayanan yang baik
kepada penumpang. Peran pemerintah dalam menyikapi pelanggaran hak perlindungan
konsumen adalah dengan melakukan pembinaan sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan diantaranya penerbangan dikuasai oleh negara
dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, pembinaan penerbangan sebagaimana
dimaksud meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Pengaturan
sebagaimana dimaksud meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri
atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur
termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
Dalam menetapkan siapa
yang harus bertanggung jawab ada hal penting yang harus diterapkan sebelum
menentukan siapa yang bertanggung jawab hal yang perlu diketahui tersebut
adalah prinsip-prinsip tanggung jawab. Prinsip tanggung jawab dalam bidang
hukum pengangkutan itu ada tiga macam yaitu prinsip tanggung jawab atas dasar
kesalahan, prinsip tanggung jawab dasar praduga bersalah, prinsip tanggung
jawab mutlak. Dalam pembedaan ketiga prinsip tanggung jawab tersebut dapat
dilakukan melalui pihak mana yang harus membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan
ketika terjadi sengketa[47].
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 memberikan pengertian dan tanggung jawab pengangkut dan penanganan
secara terpisah antara bagasi tercatat dan bagasi kabin beserta. Upaya tanggung
jawab pengusaha angkutan udara jika penumpang tidak mendapatkan pelayanan
berupa keterlambatan jadwal dan tanggung jawab terhadap kerusakan dan
kehilangan bagasi dalam angkutan udara. Proses penyelesaian sengketa melalui
negosiasi pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung tanpa
perantara pihak ketiga, negosiasi bersifat informal dan tidak berstruktur serta
waktunya tidak tentu, efesiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi
tergantung sepenuhnya pada para pihak.
Prinsip tanggung jawab
mutlak menetapkan bahwa selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
selama penerbangan dan tidak bergantung pada ada tidaknya unsur kesalahan di
pihak maskapai, kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan,
dengan syarat maskapai harus membuktikan bahwa keterlambatan ini disebabkan
oleh faktor cuaca dan teknis operasional sebagaimana diatur di Pasal 146
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur tanggung jawab dengan ganti kerugian yang
diatur dalam Pasal 240 dan 242 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, menurut
undang-undang tersebut mengatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan
orang perorangan warga Indonesia yang dimaksud dengan badan usaha bandar udara
dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara. Menurut Pasal 240
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan badan usaha bandar udara
bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar
udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengeoperasian bandar udara.
Tanggung jawab tersebut meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah,
hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan serta keruskan dampak lingkungan
diakibatkan pengoperasian Bandar udara. Sedangkan Pasal 242 menyebutkan
ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan
sanksi administrasi lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Mentri
Perhubungan Republik Indonesia.Berdasarkan pemberitahuan tentang tanggung jawab
bagasi yang rusak dan administrasi PT. Garuda Indonesia Airlinesyang disebutkan dibawah Konvensi Montreal Bab III Pasal 17
menyebutkan bahwa pihak pengangkut hanya akan memberikan ganti rugi apabila
kesalahan terjadi dikarenakan murni oleh pihak pengangkut, akan tetapi apabila
bagasi yang dibawa memang sudah rusak / cacat bukan menjadi tanggung jawab pihak
pengangkut.
Menurut penjelasan Ibu
Ni Wayan Lusiana Sari dan Ibu Ni Luh Puspita Adnyani,selaku petugas check in pada PT. Garuda Indonesia Airlines di Bandara I Gusti Ngurah Rai
Bali menyebutkan bahwakehati-hatian para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya
mampu menjamin keselamatan dan nyamannya para penumpang dari setiap pekerja,
sehingga para pekerja mampu menjalankan tugasnya dan bertanggung jawab secara
maksimal. Menurut pihak informan pernah adanya suatu masalah mengenai bagasi
penumpang, akan tetapi pihak informan tidak menjelaskan secara detail mengenai hal
tersebut, adanya masalah tersebut tentu saja sangat merugikan pihak penumpang.
Menurut informan dalam penelitian ini penyelesaian masalah penyelesaian
sengketa PT. Garuda Indonesia Airlines atas
kerugian yang di derita penumpang akibat kerusakan bagasi tercatat penumpang
dilakukan dengan cara melalui litigasi dan non litigasi. Dengan pemberian ganti
rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia Airlines kepada penumpang yang mengalami kerugian atas kerusakan
bagasi tercatat penumpang tanpa harus melalui proses pengadilan (non litigasi).
Menurut salah satu informan yang pernah menangani kasus kerusakan bagasi,
dimana ada beberapa orang penumpang yang tidak mendapatkan ganti rugi karena
alasan tertentu yang tidak bisa Informan sampaikan karena sudah menjadi
peraturan perusahaan sehingga informan tidak berani memberitahukannya, adabeberapa
orang penumpang yang mengalami kerusakan bagasi tercatat tidak mendapatkan
ganti rugi atas kerusakan tersebut. Untuk melindungi keselamatan penumpang dan
barang milik penumpang, perlindungan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Menteri Perhubungan serta Undang-Undang penerbangan yang berlaku. (Wawancara
pada tanggal 1 Desember 2018).
Data penunjang dalam
penelitian ini melakukan tanya jawab kepada responden dengan 3 sampel yaitu
Rendha Rais, I Putu Erawan, dan Silvia
Flesenner dimana semuanya pernah mengalami kerusakan bagasi tercatat dalam
angkutan udara di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
Responden dalam daftar
tersebut semuanya pernah mengalami kerusakan bagasi tercatat. Dari 3 responden
tersebut 1 diantaranya atas nama Rendha Rais mengatakan bahwa bentuk kerusakan
berupa koper penyok yang cukup parah pada bagian bagasi.Rendha Rais mengatakan bahwa
sudah menerima ganti rugi dari pihak maskapai akan tetapi ganti rugi tersebut
tidak sesuai dengan nilai kerusakan barang. (Wawancara pada tanggal 10 Desember
2018).
Sementara itu menurut I
Putu Erawan salah satu responden mengaku pernah mengalami kejadian kerusakan
pada bagasi, akan tetapi ia tidak ingin memperpanjang masalah kerusakan bagasi
karena malas mengurus prosedur ganti rugi yang dianggap terlalu rumit dan
memakan waktu cukup lama, sehingga responden lebih memilih untuk membiarkan
permasalahan tersebut begitu saja. (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2018).
Kemudian responden atas
nama Silvia Flessener mengatakan bahwa dia tidak diberikan ganti rugi apapun
oleh pihak maskapai dan tanpa diberikan kepastian oleh pihak maskapai walaupun
sudah mengikuti prosedur pengajuan ganti rugi yang benar. (Wawancara pada
tanggal 10 Desember 2018).
Semua
responden mengaku tidak mengetahui tentang adanya Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, selain
itu pada saat check in dari 2 (dua)
responden mengaku tidak ditanya oleh petugas check in, sehingga masih banyak kasus rusaknya bagasi tercatat,
kasus tersebut bukan sepenuhnya kesalahan penumpang maupun pihak maskapai, hal
ini karena faktor masih kurangnya sosialisasi peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat
dalam pengangkutan udara, baik dari pihak pemakai jasa maupun pihak penyedia
jasa angkutan udara.
Dari kejadian tersebut
sudah jelas membuat kerugian bagi penumpang karena penumpang dirugikan dengan tidak
diberikannya ganti rugi seperti yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Sehingga selama perjalanan penumpang merasa
tidak nyaman dan kecewa atas pelayanan pihak maskapai yang dianggap merugikan
penumpang. Ketidaknyamanan ini mungkin saja akan berdampak pada nama baik PT.
Garuda Indonesia Airlines karena bisa
saja penumpang tersebut akan menceritakan kejadian yang dialaminya kepada
penumpang lain atau membagikannya melalui media sosial yang dimilikinya.
Seperti fakta yang
pernah terjadi yang pernah di alami oleh responden atas nama Rendha Rais,
mengungkapkan pernah mengunggahnya ke akun pribadinya yang menyatakan bahwa
mengalami kerugian atas kerusakan bagasi miliknya pada saat melakukan
penerbangan. Dimana dalam berita kompas.com menyebutkan bahwa ada fakta yang
pernah terjadi terkait dengan kerusakan bagasi penumpang di PT. Garuda
Indonesia Airlines, salah satu pengalaman yang tidak
mengenakkan saat menggunakan moda transportasi udara adalah jika koper yang dibawa
mengalami kerusakan. Kekesalan tentu bertambah jika kerusakan koper itu terjadi
bukan karena kesalahan kita, tetapi terjadi saat proses di bagasi. Salah satu
penumpang Garuda Indonesia pun berbagi cerita tentang kopernya yang rusak
setelah naik pesawat maskapai tersebut. Melalui insta story, akun Instagram milik Rendha Rais mengunggah foto
kopernya yang penyok. Isi dalam insta
story tersebut bahwa rendha sudah menyampaikan kepada pihak Garuda
Indonesia, namun dari pihak garuda sendiri akan mengganti kerugian tersebut dan
meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dialami penumpang. Pihak Garuda
Indonesia Airlines juga siap
bertanggung jawab, termasuk jika harus mengganti koper yang sama dengan milik
penumpang. Namun pihak Garuda Indonesia Airlines
menjelaskan ada beberapa prosedur yang dilakukan jika penumpang mengalami koper
rusak di maskapai Garuda Indonesia Airlines,
ada juga bentuk tanggung jawab terhadap kerusakan bagasi tersebut, dan ada
beberapa yang disebutkan pihak Garuda Indonesia Airlines mengenai rusaknya bagasi penumpang juga membuat batasan
tersendiri dalam pemberian ganti rugi. Adapun bentuk tanggung jawab terhadap
kerusakan bagasi diantaranya kerusakan kategori minor, yakni secara fungsi
barang yang disimpan bagasi tersebut masih dapat digunakan untuk menyimpan dan
membawa isi. Misal : robek atau lubang kecil, patah salah satu roda, patah handle, handle bengkok, lepas tali pengikat, kerusakan pada resleting utama
namun masih dapat ditutup kembali, kerusakan resleting pada kantong samping,
kerusakan kunci, kerusakan asesoris yang menempel pada koper. Untuk kerusakan
ini akan dilakukan perbaikan. Maka dari itu jika penumpang yang mengalami
kerusakan bagasi wajib melapor kepada pihak maskapai, membaca prosedur yang
ditunjukkan serta mengisi form yang
telah diberikan oleh pihak maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines.
BAB
IV
FAKTOR
PENGHAMBAT SERTA UPAYA DALAM PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB GANTI KERUGIAN BAGI
PENUMPANG YANG MENGALAMI KERUSAKAN BAGASI PADA PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES
4.1
Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan
Tanggung Jawab PT. Garuda Indonesia Airlines
Sebagai Pengangkut Terhadap Bagasi Tercatat Penumpang
PT. Garuda Indonesia Airlines dalam pemberian ganti rugi mengenai
rusaknya bagasi pihak penumpang yang mengalami kerugian tersebut harus
mengikuti prosedur-prosedur yang diberikan oleh pihak maskapai. Prosedur pelaksanaan
bagasi dalam dunia penerbangan sudah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta
standardisasi yang sama antara satu maskapai dengan maskapai lainnya. Prosedur
disini maksudnya adalah tata cara, aturan, atau urutan proses pengiriman bagasi
atau penerimaan bagasi dari stasiun keberangkatan sampai stasiun tujuan. Urutan
tersebut dimulai dari pemeriksaan bagasi oleh security check, penimbangan bagasi dan pelabelan bagasi serta
diberikan baggage claim tag lalu
melakukan pembayaran apabila bagasi melebihi ketentuan, kemudian bagasi akan
dimasukan kedalam pesawat (proses loading),
dan bagasi distasiun tujuan di turunkan
atau di bongkar (proses unloading)
oleh petugas, lalu bagasi dibawa ke bagian pengambilan.[48]
Pada umumnya kasus
penyimpangan-peyimpangan yang timbul dari hasil pelayanan bagasi akan
tampakpada saat penumpang tiba di stasiun tujuan akhir atau pada saat postflight service.Disini dapat terjadi
beberapa penyimpangan seperti bagasi rusak atau hancur. Tata cara prosedur
pelaksanaan bagasi rusak adalah sebagai berikut:
1.
Kerusakan atau kehilangan sebagian isi
bagasi tercatat yang dilaporkan oleh penumpang setelah berada diarea
kedatangan. Tidak dapat diterima dan tidak dapat dibuat PIR.
2.
Laporan kerusakan bagasi tercatat harus
dilaporkan oleh penumpang pada hari yang sama saat bagasi diketahui rusak
kepada unit lost and found.
3.
Unit lost
and found mencatat data kerusakan atau kehilangan sebagian isi bagasi
penumpang ke dalam from PIR rangkap 3 (warna putih, merah, hijau) dan di
tandatangani oleh penumpang dan staf unit lost
and found.
4.
Lembar asli PIR warnah putih dan claim tag dikirim ke unit central baggage tracing, lembar kedua
(akan diberikan kepada penumpang) dan lembar ketiga (warna hijau) untuk file baggage service lost and found.
5.
Unit lost
and found melakukan tracing dan
investigasi terhadap laporan kerusakan ke unit terkait paling lama 3 hari
kalender dimulai sejak bagasi di terima rusak.
6.
Unit lost
and found menerima hasil tracing
dan investigasi dari stasiun terkait, jika terjadi kerusakan bagasi tercatat
yang diketahui setelah berada diluar area kedatangan.
7.
Laporan diterima sebagai courtesy report dan apabila hasil tracking dan investigasi bukan merupakan
kesalahan pengangkut maka tidak terjadi ganti rugi.
Dalam proses pemberian
ganti rugi tersebut pihak garuda memiliki batasan tersendiri. Dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan terdapat batasan-batasan
tanggung jawab dari PT. Garuda Indonesia Airlines
sebagai pengangkut terhadap penumpang. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan dijelaskan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi
atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan
tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional maka dari itu pihak maskapai memberikan batas ganti rugi
atas kerusakan bagasi tercatat penumpang dengan ketentuan sebagai berikut[49]
:
1.
Apabila bagasi tidak diterima pada saat
kedatangan atau bagasi ditemukan dalam keadaan rusak, penumpang wajib segera
melaporkannya ke kantor baggage service
di area kedatangan sebelum meninggalkan bandara;
2.
Khusus untuk penerbangan internasional,
tenggang waktu pelaporan kerusakan bagasi yang dapat ditindaklanjuti adalah
tidak lebih dari 7 (tujuh) hari sejak tanggal kedatangan penerbangan atau sejak
bagasi diterima;
3.
Laporan yang akan ditindaklanjuti adalah
laporan yang wajib dilengkapi dengan dokumen baggage tag number, kartu
identitas, dan boarding pass;
4.
Sebagai bukti laporan, petugas bagage service akan menerbitkan dokumen Property Irregularity Report (PIR);
5.
Proses pencarian bagasi yang dilaporkan
hilang akan dilakukan dalam kurun waktu hingga 14 hari. Jika bagasi ditemukan,
maka akan diantar ke alamat yang tercatat dalam dokumen PIR;
6.
Jika dalam kurun waktu 14 hari bagasi
tidak ditemukan maka bagasi akan dinyatakan hilang dan dapat dilakukan klaim
kompensasi atau ganti rugi;
7.
Batas waktu pengajuan hak atas kompensasi
atau ganti rugi bagasi hilang atau rusak adalah 2 tahun sejak tanggal pembuatan
PIR;
8.
Laporan yang diterima setelah
meninggalkan area kedatangan (kecuali penerbangan internasional) atau tidak
disertai dengan kelengkapan dokumen wajib, akan ditindaklanjuti sebagai laporan
courtesy (courtesy report) dan dibuatkan bukti pelaporan berupa courtesy report form;
9.
Courtesy
report adalah laporan atas terjadinya kehilangan atau
kerusakan bagasi yang akan ditindaklanjuti tanpa ada kewajiban untuk memberikan
kompensasi atau ganti rugi;
10.
Courtesy
report untuk kehilangan bagasi, tanggung jawab Garuda
Indonesia Airlines adalah membantu
proses tracing / pencarian dari
laporan bagasi hilang. Courtesy report
untuk bagasi rusak, laporan yang disampaikan akan menjadi referensi untuk
perbaikan layanan bagasi;
11.
Jika bagasi tidak diterima pada saat
kedatangan (tanggal dan nomor penerbangan yang sama), Garuda Indonesia Airlines akan memberikan First Need Compensation (FNC) / uang
tunggu dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penerbangan
sektor domestik sebesar Rp. 200.000 per penumpang per hari, maksimum 3 hari.
b. Penerbangan
sektor internasional diberikan hanya 1 kali sebesar :
(1) USD
75 untuk penumpang kelas ekonomi;
(2) USD
100 untuk penumpang kelas bisnis;
(3) USD
200 untuk penumpang first class.
Ganti rugi atas
kerusakan bagasi paling lama adalah 14 hari kerja dihitung sejak bagasi
diterima dan diketahui rusak. Maka dari itu dalam merealisasikan tanggung
jawabnya, PT. Garuda Indonesia Airlines
tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa faktor yang biasanya menjadi hambatan
dalam pelaksanaan tanggung jawab, yaitu antara lain :
1.
Informasi data penumpang terkait ganti
ruginya kurang lengkap khususnya bagi penumpang yang merupakan pendatang pada
saat melakukan pelaporan kerusakan bagasi tercatat informasi tempat tinggal
yang dicantumkan adalah tempat tinggal menginap di hotel;
2.
Informasi mengenai nomor telpon yang
diberikan terkadang nomer telepon tersebut sulit dihubungi;
3.
Banyaknya penumpang yang belum
mengetahui tentang prosedur pengajuan ganti rugi, sehingga untuk di proses
ganti rugi bagasi yang rusak menjadi terhambat.
4.2 Upaya Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam
Pelaksanaan Tanggung Jawab Ganti Kerugian Bagi Penumpang Yang Mengalami
Kerusakan Bagasi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines
Ganti rugi sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yaitu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 hari kalender setelah tanggal transaksi. Definisi dari ganti
kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Dalam pemberian ganti rugi terjadi hambatan baik dari
perusahaan, pemerintah maupun penumpang. Untuk mengatasi terjadinya hambatan
diperlukan suatu upaya baik dari maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines, pemerintah dan penumpang.
Upaya dari pihak
maskapai, Dalam masalah mengenai pelaksanaan tanggung jawab ganti kerugian
terhadap kerusakan bagasi tersebut, maka upaya yang dapat diambil oleh PT.
Garuda Indonesia Airlines adalah
untuk data penumpang terutama data bagasi yang tercatat tersebut PT. Garuda
Indonesia Airlines akan melakukan
pengecekan ulang mengenai identitas penumpang dengan tiket penerbangan yang
digunakan, serta terutama informasi data penumpang terkait dengan kerusakan
bagasi tersebut lebih di lengkapi dan diperjelas alamat dan nomer telepon
penumpang tersebut serta pihak maskapai selalu lebih berhati- hati dalam
pengecekan bagasi milik penumpang agar tidak ada satu pun bagasi/barang milik
penumpang yang rusak. Selain itu dalam pelaksanaan tanggung jawab ganti
kerugian terhadap kerusakan bagasi pihak PT. Garuda Indonesia Airlines upaya yang dilakukan yaitu
melaporkan kerusakan bagasi tersebut. Apabila telah dilaporkan sebagai barang berharga, maka biaya pengangkutannya
telah diperhitungkan dengan biaya premi asuransi atas resiko kehilangan /
kerusakan barang tersebut. Semakin tinggi nilai barang tentunya semakin besar
premi asuransinya, sehingga semakin besar biaya pengangkutan barang yang harus
dibayar. Apabila terjadi resiko maka pemilik barang akan mendapatkan nilai
barang tersebut sesuai nilai pertanggungan barang tersebut. Dalam upayanya, apabila
ada yang melaporkan kerusakan atau kehilangan bagasi, biasanya akan
diselesaikan saat itu pula secara damai oleh petugas PT. Garuda Indonesia Airlines. Kerusakan atau kehilangan tersebut akan langsung
diselidiki, dan apabila merupakan kesalahan dari PT. Garuda Indonesia Airlines maka akan langsung diurus ganti ruginya sesuai dengan barang
tersebut.
Dalam hal rusak bagasi penumpang, PT. Garuda Indonesia Airlines bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 44 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang
menyebutkan bahwa untuk kerugian bagasi tercatat dibatasi setinggi-tingginya
Rp. 100.000,- untuk setiap kilogram dan untuk kerugian bagasi kabin karena
kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- untuk setiap
penumpang. PT. Garuda Indonesia Airlines dalam hal ganti kerugian terhadap barang
bagasi penumpang mengikuti ketentuan besarnya ganti rugi dalam Peraturan
Pemerintah No. 40 tahun 1995. Hal ini seperti yang tertera dalam syarat-syarat
perjanjian dalam negeri yang menyebutkan bahwa tanggung jawab terbatas untuk
kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah setinggi-tingginya Rp.
100.000,- per kilogram.
Selain itu upaya yang
dapat dilakukan dari Menteri Perhubungan RI adalah mengadakan sosialisasi
tentang prosedur tanggung jawab ganti rugi, batas-batas pemberian ganti rugi
serta informasi yang terkait mengenai penerbangan. Peraturan mengenai ganti
rugi terkait bagasi yang mengalami kerusakan sudah diatur dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sesuai dengan Pasal 144 bahwa pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi
tercatat hilang, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara
selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Penumpang dalam hal ini
sebagai sebagai konsumen yang dirugikan, dapat mengupayakan untuk mencegah
terjadinya hambatan yaitu penumpang harus memberikan keterangan identitas data
dengan selengkap-lengkapnya, serta penumpang juga harus melengkapi form pengajuan ganti rugi yang dapat di
minta kepada pihak maskapai. Selain memberikan informasi data diri, informasi
mengenai waktu keberangkatan, kelas penumpang, rincian barang bawaan juga
sangat penting mengenai proses ganti kerugian. Selain itu penumpang harus
membuat laporan mengenai kerusakan bagasi dengan langsung menemui pihak
maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines
dan menyatakan kerusakan bagasi. Penumpang juga harus mengurus klaim asuransi
perjalanan, jika penumpang memilikinya. Hal ini akan mempermudah terhadap ganti
rugi bagasi yang rusak. Asuransi perjalanan ini memberikan perlindungan
terhadap bagasi yang mengalami kerusakan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu
upaya hukum dengan mengajukan laporan ke pengadilan atau upaya hukum diluar
pengadilan.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu :
1.
Bentuk tanggung jawab terhadap penumpang
yang mengalami kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab merupakan perihal
yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kerusakan bagasi saat
terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada
penumpang. Upaya Tanggung Jawab Pengusaha Angkutan Udara jika penumpang tidak
mendapatkan pelayanan berupa keterlambatan jadwal dan tanggung jawab terhadap
kerusakan dan kehilangan bagasi dalam angkutan udara. Proses penyelesaian
sengketa melalui negosiasi pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara
langsung tanpa perantara pihak ketiga, negosiasi bersifat informal dan tidak
berstruktur serta waktunya tidak tentu, efesiensi dan efektifitas kelangsungan
negosiasi tergantung sepenuhnya pada para pihak;
2.
Faktor penghambat dalam proses pemberian
ganti rugi yaitu informasi data penumpang terkait ganti ruginya kurang lengkap
khususnya bagi penumpang yang merupakan pendatang pada saat melakukan pelaporan
kerusakan bagasi tercatat, informasi tempat tinggal yang dicantumkan adalah
tempat tinggal menginap seperti di hotel, begitu juga dengan nomor telepon yang
diberikan terkadang nomor telepon tersebut sulit dihubungi
3.
sehingga untuk diproses ganti bagasi yang
rusak menjadi terhambat. Prosedur pelaksanaan bagasi dalam dunia penerbangan
sudah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta standardisasi yang sama antara
satu maskapai dengan maskapai lainnya. Prosedur disini maksudnya adalah tata
cara, aturan, atau urutan proses pengiriman bagasi atau penerimaan bagasi dari
stasiun keberangkatan sampai stasiun tujuan.
5.2
Saran
Beberapa saran
yang dapat penulis sampaikan antara lain :
1.
Dalam melaksanakan proses pengangkutan
khususnya dalam proses pengemasan bagasi. Untuk menghindari terjadinya
kerusakan bagasi, pihak maskapai hendaknya lebih berhati-hati dalam pengemasan
bagasi tersebut. Jika pihak maskapai dengan sengaja melakukan kerusakan pada
bagasi tersebut, pihak maskapai tersebut akan diberikan sanksi yang tegas
karena hal tersebut termasuk dalam tindak kriminal. Sedangkan untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman penumpang sebelum melakukan penerbangan juga harus
memeriksa bagasinya apakah memang sudah rusak dari awal atau belum, dan untuk
penumpang dihimbau untuk melapisi bagasi dengan pembungkus tambahan;
2.
Sebaiknya dalam meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pengangkutan, Kementrian Perhubungan melakukan sosialisasi
mengenai prosedur pemberian ganti rugi, meberikan arahan, bimbingan,serta
bantuan teknis kepada penumpang agar terhindar dengan adanya hambatan / kendala
dalam proses pemberian ganti rugi agar dalam proses pemberian ganti rugi
tersebut menjadi lebih cepat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hambatan tersebut pihak maskapai lebih teliti dalam pengecekan identitas
penumpang serta kelengkapan data- data milik penumpang tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Ahmadi Miru, 2017, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumendi Indonesia,
Rajawali, Depok.
Bambang
Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam
Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Damardjati R.S, 2001, Istilah-Istilah Dunia Pariwisata.
Pradnya Paramitha, Jakarta.
Husni
Syawali dan Neni Srilmaniyati, 2000, Hukum
Perlindungan Konsumen, Mandar Maju Bandung.
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mariam
Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan
Dalam KUHPerdata, Citra Aditya Bakti, Bandung.
H.K.
Martono dan Ahmad Sudiro, 2011, Hukum
Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1 tahun 2009, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
H.K. Martono , 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Pepen Pendi, 2016, Kupas Tuntas Penerbangan, Deepublish, Yogyakarta.
Sakti Adji Adisasmita, 2012, Penerbangan dan Bandar Udara, Graha
Ilmu, Surabaya.
Shidarta,
2006, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta.
Suharto
Abdul Majid, 2018, Grond Handling, Cet.3,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suherman, 1962, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco,
Bandung.
Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek hukum dalam Pengangkutan
Udara Nasional, Mandar Maju.
_______ ,
2005, Pengangkutan Kargo Udara, PT. Pustaka
Bani Quraisy, Bandung.
Wahyu
Sasongko, 2007.Hukum Perlindungan
Konsumen. Universitas Lampung.
Yusuf
Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta.
Ghalia Indonesia.
Zainuddin
Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal Ilmiah :
Ridwan Khairandy, 2008, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi
Tanggung Jawab sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara,
Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta.
Saefullah Wiradipradja, E, 2006, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan
Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis
Vol.25, Jakarta.
Internet
:
Annual
Report PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, 2017. URL : https://www.garuda-indonesia.com/hk/en/investor-relations/annual-report-dan-sustainability-report/annual-report.page, diakses tanggal 7 Oktober 2018.
Anonim, 2017, Profil Perusahaan,
https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate-partners/company-profile/awards/index.page?
Diakses tanggal 8 November 2018.
Anonim, 2018, https: //www.garuda-indonesia.com/id/id/contact/customer-care-policy/baggage-irregulairity-claim.page,
diakses tanggal 7 Oktober 2018.
Garuda Indonesia, Tentang
Garuda Indonesia, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate- partners/company-profile/about/index.page?,
di akses tanggal 7 November 2018.
Wikipedia, Dekade 1960-1970
Pekermbangan Signifikan dan Berekspansi, https://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia,diakses tanggal 26 November 2018.
Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia,
Undang-Undang Tentang Penerbangan, Undang-Undang No 1 Tahun 2009, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4956.
Indonesia,
Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3821.
Keputusan
Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad
Tahun 1847 Nomor 23.
Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut
Angkutan Udara
[1]Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 33
[2] Ridwan Khairandy, 2008, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi
Tanggung Jawab sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara,
Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta, hal. 20-21.
[3] E. Saefullah Wiradipradja, 2006,
Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan
Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis
Vol.25, Jakarta, hal. 516.
[4]H.K. Martono dan Ahmad Sudiro,
2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU
RI No. 1 tahun 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 54-55.
[5] Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (suatu pengantar),
Liberty, Yogyakarta, hal.38.
[6] Ridwan , 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, hal. 21.
[7] Husni Syawali dan Neni Srilmaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju Bandung, hal. 7.
[8] Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 45
[9] Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67.
[10] H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, op.cit, hal, 219.
[11]
H.K. Martono dan Ahmad
Sudiro, loc.cit.
[12]
H.K. Martono dan Ahmad
Sudiro, op.cit, hal. 220.
[13] Sidharta, op.cit, hal. 3.
[14]Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.72.
[15]Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 54.
[16] Toto Tohir Suriaatmadja, 2005, Pengangkutan Kargo Udara, PT. Pustaka
Bani Quraisy, Bandung, (Selanjutnya disingkat Toto Tohir Suriaatmadja I ), hal. 17
[17] Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan
Udara Nasional, Mandar Maju, Bandung, (Selanjutnya disingkat Toto Tohir Suriaatmadja
II ) hal. 24
[18] Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan
Konsumen, Universitas Lampung, Lampung, hal. 97.
[19] R.S. Damardjati , 2001, Istilah-
Istilah Dunia Pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal.
6.
[20] Sakti Adji Adisasmita, 2012, Penerbangan
dan Bandar Udara, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.10
[21] Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 30.
[22] Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana
Korporasi, Jakarta, Ghal.ia Indonesia, hal. 29.
[23]
Toto Tohir Suriatmadja II, op.cit,
hal. 114
[24] HS Salim, 2012, Hukum Kontrak Perjanjian Pinjaman dan Hibah,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 28.
[25] Suharto Abdul Majid, 2018, Ground
Handling, Cet.3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 38.
[26]
Pepen Pendi, 2016, Kupas Tuntas Penerbangan, Deepublish,
Yogyakarta, hal. 110-111
[27] Ibid
[29] Annual Report PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk. 2017. URL : https://www.garuda-indonesia.com/hk/en/investor-relations/annual-report-dan-sustainability-report/annual-report.page,
diakses tanggal 7 Oktober 2018.
[30]
Anonim, 2017, Profil Perusahaan, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate-partners/company-profile/index.page
diakses tanggal 20 Oktober 2018.
[31]
Ibid.
[32] Wikipedia, Dekade 1960-1970 Pekermbangan Signifikan dan
Berekspansi, https://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia, diakses tanggal 26 November 2018.
[33]
Ibid.
[34]Garuda Indonesia, Tentang Garuda Indonesia, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate- partners/company-profile/about/index.page?, di akses
tanggal 7 November 2018.
[35]
Ibid.
[36] Ibid.
[37]
Ibid.
[38]Ibid.
[39]
Ibid.
[40] Ibid.
[41]
Ibid.
[42]Ahmadi Miru, 2017, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum bagi
Konsumen di Indonesia, PT Rajawali, Jakarta, hal. 138.
[43] Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT
Grasindo. Jakarta,
hal.
72.
[44]
H.K. Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan
Internasional Bagian Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 217
[45] Ibid, hal. 223.
[46]Suherman, 1962, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara
Indonesia, Eresco, Bandung , hal. 3.
[47]Toto Tohir Suriaatmadja II, op.cit,
hal. 27
[48] H.K. Martono.op.cit,h.138.
[49]Anonim,2018,https://www.garuda-indonesia.com/id/id/contact/customer-care-policy/baggage
irregulairity-claim.page diakses tanggal 21 Agustus 2018.
No comments:
Post a Comment