Saturday, April 20, 2019

SKRIPSI-TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUSAKANBAGASI TERCATAT PADA PT GARUDA INDONESIA AIRLINES



ABSTRAK

Permasalahan yang menjadi sorotan pada maskapai penerbangan udara Garuda Indonesia Airlines adalah rusaknya bagasi penumpang, dalam hal penyelesaian hampir semua kasus rusaknya bagasi tersebut tidak terlaksana dengan baik yaitu dalam hal pemenuhan kewajiban berupa tanggung jawab pelaku usaha kepada penumpang yang mengalami kerusakan bagasi. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan barang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang. PT. Garuda Indonesia Airlines ditemukan adanya ganti kerugian terhadap penumpang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat dalam hal ini kewajiban maskapai penerbangan udara PT. Garuda Indonesia Airlines adalah memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung jawab dalam hal terjadi kerugian pada penumpang. Kerugian pada masa penerbangan, misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik atau rasa aman untuk sampai di tujuan dengan selamat. Kerugian setelah penerbangan antara lain sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak.
Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah metode penelitian hukum empiris. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), dan pendekatan analisis konsep (Analytical & Conseptual Approach) juga penggunaan sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap penumpang yang mengalami kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kerusakan bagasi saat terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada penumpang. Faktor penghambat dalam proses pemberian ganti rugi yaitu informasi data penumpang, informasi tempat tinggal, begitu juga dengan nomor telepon.

Kata Kunci    :     Tanggung jawab, Perusahaan, Penerbangan, Bagasi Tercatat, Garuda Indonesia Airlines

ABSTRACT
The problem that was highlighted by the airline Garuda Indonesia Airlines was the damage to passenger baggage, in terms of solving almost all cases of damage to the baggage it was not carried out properly, namely in terms of fulfilling obligations in the form of business responsibility to passengers who suffered baggage damage. In the law of transportation, the carrier obligation includes transporting passengers and goods safely and safely arriving at their destination, providing good service, compensating for passengers in the event of a loss that befalls the passenger. PT. Garuda Indonesia Airlines found compensation for passengers not in accordance with applicable regulations. Given in this case the obligation of air airlines PT. Garuda Indonesia Airlines is providing good service and responsibility in the event of a loss to passengers. Losses during the flight period, for example, do not get good service or security to arrive at the destination safely. Losses after flights include arriving at the destination late, baggage lost or damaged.
The method used in this research is empirical legal research method. The type of approach used in this study is the Fact Approach, the Statue Approach, and the Analytical & Conceptual Approach as well as the use of data sources namely primary and secondary data sources.
The results of this study are the form of responsibility for passengers who suffer losses based on the principle of responsibility is a matter that is very important in the consumer protection law. Baggage damage while flying has a compensation value that must be paid by the airline to passengers. Inhibiting factors in the compensation process are passenger data information, residence information, as well as telephone numbers.

Keywords        :     Responsibility, Company, Aviation, Carrying Baggage, Garuda Indonesia Airlines
              

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah
Perekonomian di negara Indonesia sangat pesat ditandai dengan adanya masyarakat yang seringkali berpindah tempat tinggal dengan tujuan mencari nafkah, dengan adanya masyarakat yang sering berpindah tempat dibutuhkan transpotasi atau pengangkutan baik melalui darat, laut dan udara. Hal ini menyebabkan para penumpang memilih alternatif angkutan umum lain yang dirasa lebih nyaman dan dapat beroperasi dalam waktu yang singkat yang mampu mengantarkan mereka ke tempat tujuan dengan cepat dan efektif. Angkutan udara merupakan salah satu alat transpotasi yang paling banyak diminati masyarakat Indonesia karena terasa lebih nyaman serta menghemat waktu. Praktik kegiatan transpotasi udara sering kali pengangkut tidak memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah melakukan “wanprestasi”.[1] Salah satunya mengenai kerusakan bagasi milik penumpang merupakan hal yang sering terjadi, banyak pengakut yang mengabaikan masalah bagasi milik penumpang sehingga penumpang angkutan udara merasa tidak nyaman mengenai barang-barang bawaan mereka. Setiap kerugian yang dialami penumpang merupakan masalah hukum khususnya merupakan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut terhadap penumpang.

Pada hakikatnya pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan penumpang dan pengirim. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh, dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang sesuai jadwal yang telah di tetapkan dan lain-lain.[2] Adanya masalah yang mengakibatkan kerugian, maka harus ada pihak pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.
Permasalahan yang menjadi sorotan pada maskapai penerbangan udara Garuda Indonesia Airlines adalah rusaknya bagasi penumpang. Dalam hal penyelesaian hampir semua kasus rusaknya bagasi tersebut tidak terlaksana dengan baik yaitu dalam hal pemenuhan kewajiban berupa tanggung jawab pelaku usaha kepada penumpang yang mengalami kerusakan bagasi.[3] Indonesia memiliki peraturan yang mengatur mengenai angkutan udara yaitu terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Pasal 1 angka 1 menyebutkan Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan,lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Terkait hal tersebut, masalah penumpang merupakan masalah yang paling krusial saat ini, permasalahan mengenai keselamatan penumpang sampai dengan kondisi bagasi penumpang. Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan barang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang.
Apabila terjadi peristiwa atau kejadian yang menyebabkan kerugian bagi konsumen maka akan timbul tanggung jawab hukum dari pihak pengangkut untuk mengganti kerugian yang dialami konsumen. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab terhadap kerugian, kerusakan, cedera, dan cacat atas fasilitas di bandar udara sebagai akibat kesalahan pihak maskapai.[4]
Wujud tanggung jawab yang diberikan adalah berupa pemberian ganti rugi. Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara, tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang di derita oleh penumpang dan pengirim barang serta pihak ketiga. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan tanggung jawab itu dimulai sebelum masa penerbangan, pada saat penerbangan, dan setelah penerbangan. Dalam Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen. Akan tetapi pada kenyataannya di PT. Garuda Indonesia Airlines ditemukan adanya ganti kerugian terhadap penumpang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat dalam hal ini kewajiban maskapai penerbangan udara PT. Garuda Indonesia Airlines adalah memberikan pelayanan yang baik serta bertanggung jawab dalam hal terjadi kerugian pada penumpang. Maka penumpang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti kerugian terutama dalam objek penelitian ini adalah rusaknya bagasi milik penumpang. Kerugian pada masa penerbangan, misalnya tidak mendapatkan pelayanan yang baik atau rasa aman untuk sampai di tujuan dengan selamat. Kerugian setelah penerbangan antara lain sampai di tujuan terlambat, bagasi hilang atau rusak.
Menurut Pasal 1 angka 22,24, dan 25 Bab 1 mengenai Ketentuan Umum UURI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dirumuskan tentang Tanggung Jawab Pengangkut, Bagasi Tercatat, dan Bagasi Kabin. Bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada 2 macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin dibedakan sebagai berikut :
1.      Bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama;
2.      Bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
Pasal 1 angka 22, tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang di derita oleh penumpang dan pengirim barang serta pihak ketiga.
Pasal 1 angka 24, menjelaskan pengertian tentang bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.
Pasal 1 angka 25, menjelaskan pengertian tentang bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
Dalam kasus diatas rusaknya bagasi tersebut adalah bagasi tercatat. Berdasarkan kronologis kasus diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya kerusakan bagasi tercatat disebabkan karena kesalahan, kelalaian, dan kurangnya unsur kehati-hatian oleh pihak pengangkut, bagaimana prosedur pengajuan ganti rugi atas terjadinya kerusakan bagasi tercatat milik penumpang. Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam suatu karya tulis ilmiah skripsi dengan judul :
“Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Kerusakan Bagasi Penumpang Penerbangan Domestik Pada PT. Garuda Indonesia Airlines

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dikemukakan pokok permasalahan sebagai berikut yaitu :
1.      Bagaimana bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlines atas kerusakan bagasi tercatat penumpang berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan ?
2.      Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat serta upaya dalam pemberian ganti kerugian bagi penumpang yang mengalami kerusakan bagasi pada PT. Garuda Indonesia Airlines ?

1.3       Ruang Lingkup Masalah
Batasan permasalahan merupakan suatu hal yang sangat penting karena tanpa adanya batasan permasalahan dimungkinkan terjadinya pembahasan yang tidak relevan sehingga menyebabkan penyimpangan yang terlalu jauh mengenai objek yang akan dibahas.
1.      Adapun ruang lingkup yang pertama yaitu terbatas pada bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlinesatas kerusakan bagasi tercatat berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan;
2.      Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahan dibatasi pada faktor penghambat dalam pemberian ganti kerugian bagi penumpang yang mengalami kerugian.

1.4       Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan pada ide, gagasan, dan pemikiran sendiri, serta hasil membaca dari berbagai literatur. Berdasarkan informasi dan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan Hukum Universitas Udayana, sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka ditemukan penelitian yang sejenis namun memiliki perbedaan substansi, yaitu sebagai berikut :
NO
JUDUL
RUMUSAN MASALAH
PENULIS
1
Perlindungan Hukum Bagi Penumpang Angkutan Udara (studi Kasus Pada PT. Garuda Indonesia.
a.    Bagaimana perlindungan hukum pada konsumen selaku pengguna jasa Garuda Indonesia Airways ?
b.   Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh penumpang yang dirugikan akibat resiko operasional penerbangan?


Vinna Vanindia, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Tahun 2010
2
Perlindungan Hukum terhadap penumpang pada Transpotasi Udara Niaga.
a.    Bagaimanakah peraturan mengenai perlindungan hukum terhadap penumpang pada trasnpotasi udara niaga berjadwal nasional ?
b.    Upaya hukum apakah yang dapat ditempuh oleh penumpang yang mengalami kerugian dalam kegiatan transpotasi udara niaga?
Ahmad Zazili Fakultas Hukum Universitas Diponogoro Tahun 2008.


1.5       Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.5.1    Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian skripsi ini adalah :
1.      Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlines terhadap kerusakan bagasi tercatat penumpang;
2.      Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pemberian ganti kerugian bagi penumpang.
1.5.2    Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian skripsi ini adalah :
1.      Untuk mendalami bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia Airlines terhadap kerusakan bagasi tercatat penumpang;
2.      Untuk mendalami faktor penghambat dalam pemberian ganti kerugian bagi penumpang.

1.6       Manfaat Penelitian
1.6.1    Manfaat teoritis
1.      Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang hukum berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang;
2.      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, atau bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas hukum dan masyarakat luas;
3.      Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar bagi bahan penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.


1.6.2    Manfaat praktis
1.      Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi khususnya dalam tanggung jawab penerbangan, yaitu pihak pengangkut PT. Garuda Indonesia Airlines yang terlibat langsung dalam penerbangan;
2.      Sebagai wujud nyata penelitian yang penulis lakukan untuk memperoleh bahan informasi dalam menganalisa serta sebagai pemecahan masalah bagi permasalahan yang dihadapi penulis, khususnya mengenai perlindungan konsumen terhadap pengguna jasa penerbangan atas terjadinya kehilangan barang dalam bagasi;
3.      Bagi pengguna jasa penerbangan dapat dijadikan pedoman dalam mempertahankan hak-haknya sebagai konsumen dalam rangka perlindungan hukum bagi pengguna jasa penerbangan.

1.7       Landasan Teoritis
Penelitian ini akan menjelaskan suatu landasan teoritis yang menjadi dasar berfikir dalam pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap kerusakan bagasi milik penumpang pada penerbangan domestik. Ada beberapa teori yang dipakai untuk membahas permasalahan pada penelitian ini yaitu teori perlindungan hukum, teori proses penyelesaian bentuk tanggung jawab pihak maskapai terhadap penumpang yang mengalami kerusakan bagasi dan teori tanggung jawab.
Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yang dimaksud dengan hukum yaitu “hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum, bersifat umum berarti menentukan bagaimana cara untuk melaksanakan kepatuhan pada kaedah kaedah.”[5]
1.7.1    Teori perlindungan hukum
Teori Perlindungan Hukum Menurut Philiphus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya. Teori perlindungan hukum menurut Philiphus M. Hadjon ada dua yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.[6]
Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen maka lahirlah perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen adalah suatu istilah yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.[7] Pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karena menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkan.[8] Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :
1.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum;
2.      Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha;
3.      Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
4.      Memberikan perlindungan pada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan;
5.      Mengadukan pelanggaran, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang lain.[9]
1.7.2    Teori tanggung jawab
Pada kalangan ahli hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan responsibility atau terkadang disebut dengan liability. Tanggung jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan tanggung jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggung jawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi. Secara umum teori tanggung jawab berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam hukum perlindungan konsumen dibedakan menjadi tiga yaitu :
1.      Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan, tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum. Menurut Pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian;[10]
2.      Tanggung jawab praduga bersalah, tanggung jawab praduga bersalah berarti pihak tergugat selalu dianggap bersalah sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat, beban pembuktian seperti ini dikenal dengan sebutan beban pembuktian terbalik atau pembuktian negatif. Dasar pembuktian dari teori ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, sehingga jika teori ini digunakan maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha atau penyedia jasa;[11]
3.      Tanggung jawab hukum tanpa bersalah / mutlak (liability without fault / strict liability). Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha khususnya produsen barang atau jasa yang produknya merugikan konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan, tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan atau kelalaian[12].
1.7.3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (yang selanjutnya disingkat UU Penerbangan).
Berkaitan dengan pembahasan maka akan diuraikan beberapa poin UU Penerbangan yang akan digunakan untuk membahas rumusan masalah.
Dalam Pasal 143 UU Penerbangan, ditegaskan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin ini ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang (lihat Pasal 167 UU Penerbangan).
Pasal 144 UU Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 144 bahwa yang dimaksud dengan "dalam pengawasan pengangkut" adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan.
1.7.4    Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angkat 2 UUPK konsumen adalah "setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia didalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli, secara tegas dinyatakan bahwa konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Kedua pengertian diatas terdapat perbedaan dimana pengertian konsumen yang terdapat dalam UUPK lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian yang tercantum di dalam UULPM, yaitu konsumen tidak terbatas pada manusia semata melainkan juga kepada makhluk hidup lainnya.
Menurut Hondius pakar masalah konsumen di Belanda menyatakan pengertian konsumen adalah konsumen dalam arti luas mencakup dua kriteria yaitu konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa.[13] Menurut Pasal 4 UUPK mengenai hak-hak konsumen yaitu salah satunya konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya dan berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dari Pasal tersebut dapat digunakan sebagai pengganti atau pendukung ketika konsumen dirugikan akibat kerusakan bagasi. Disebutkan pula kewajiban dari pelaku usaha di dalam Pasal 7 UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan teori diatas akan dilakukannya penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah yang ada.

1.8       Metode Penelitian
1.8.1    Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian yang melakukan dengan observasi atau penelitian dengan secara langsung terjun kelapangan guna untuk mendapatkan kebenaran yang akurat dalam penulisan penelitian.
1.8.2    Jenis pendekatan
            Dalam penulisan penelitian ini dikaji dengan menggunakan pendekatan penggabungan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis dan konsep hukum. Yang disajikan secara konkrit dengan hasil yang diperoleh melalui turun langsung dilapangan maupun melalui penelusuran perpustakaan.


1.8.3    Sifat penelitian
            Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
1.8.4    Sumber data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.      Sumber data primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari obyeknya. Dari memperoleh data primer melalui turun langsung di lapangan dilakukan dengan cara wawancara melalui proses tanya jawab lisan melalui pihak yang terkait dalam permasalahan penelitian ini sehingga memperoleh data lebih mendalam dan akurat seperti wawancara dengan para pegawai Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
2.      Sumber data sekunder
Data sekunder berupa bahan hukum primer yang akan dikaji berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap penumpang transpotasi udara niaga yaitu :
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
c.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan;
d.      Peraturan Menteri perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara;
e.       Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Bahan hukum sekunder, yang digunakan berupa bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer meliputi literatur-literatur ilmu pengetahuan hukum dan hukum pengetahuan, dan jurnal yang penulis peroleh dari perpustakaan dan artikel-artikel yang berhubungan dengan permasalahan.[14] Penelitian ini juga akan menggunakan internet sebagai media dalam penelusuran data yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, yaitu dengan cara mengunjungi situs-situs internet yang memuat tulisan-tulisan atau data yang berkenan dengan transpotasi udara, dan beberapa situs internet yang lain yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, misalnya situs internet maskapai penerbangan.[15]
1.8.5    Teknik pengumpulan data
            Teknik dari pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:

1.      Teknik dokumentasi
Teknik ini digunakan dengan cara mengumpulkan berdasarkan data yang berdasarkan berbentuk tulisan melalui memahami data-data yang sesuai dengan hukum dari permasalahan yang dikaji berupa literatur, dokumen, dll.
2.      Teknik wawancara
Dalam teknik wawancara ini untuk mendapatkan informasi yang nyata dengan cara tanya jawab kepada pihak informan untuk memperoleh data-data melalui dokumen atau memperoleh dilapangan terkait dengan penelitian ini. Informan dari penelitian ini adalah staf yang bekerja di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali. Narasumber dari penelitian ini adalah atasan dan beberapa staf bandara, serta Responden dari beberapa penumpang.
1.8.6    Teknik penentuan sampel penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian yang dipergunakan dalam menyusun skripsi ini adalah teknik non probability sampling yaitu purposive sampling yang dimana penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang mengetahui, mengerti dan mampu menjawab terkait permasalahyang merupakan ciri utama dari populasinya.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut karakteristik populasi dan sampel yang menjadi objek penelitian ini adalah staf Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali. Dalam hal ini memilih untuk melakukan penelitian di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, karena ingin mengetahui bentuk-bentuk tanggung jawab pihak maskapai terhadap kerugian konsumen, apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
1.8.7    Teknik analisis data
            Dalam penelitian ini teknik menganalisis data diperlukan teknik analisis bahan hukum kualitatif terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Kemudian dari data-data yang terkumpul diolah dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh gambaran secara utuh untuk memudahkan dalam mengambil suatu kesimpulan.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, PERUSAHAAN PENERBANGAN, GANTI RUGI, BAGASI, PT GARUDA INDONESIA AIRLINES

2.1       Tanggung Jawab
2.1.1    Pengertian tanggung jawab
Tanggung jawab adalah keadaan berkewajiban menanggung, memikul jawab, mananggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.  Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Tanggung Jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan.Tanggung jawab adalah keadaan berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau

memberikan jawab dan menanggung akibatnya[16]. Pengertian tanggung jawab secara umum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Adapun definisi tanggung jawab secara harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain. Jadi, tanggung jawab adalah sebuah perbuatan yang dilakukan oleh setiap individu yang berdasarkan atas kewajiban maupun panggilan hati seseorang. Yaitu sikap yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki sifat kepedulian dan kejujuran yang sangat tinggi. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah merupakan bagian dati kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian, maka tanggung jawab dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.
Tanggung Jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan mengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap manusia harus mempunyai rasa tanggung jawab, dimana rasa tanggung jawab itu harus disesuaikan dengan apa yang telah kita lakukan. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengajamaupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudankesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian hidup dari manusia bahwa setiap manusia dibebani dengan tangung jawab. Apabila dikaji, tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus dipikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.
2.1.2    Prinsip-prinsip tanggung jawab :
1.      Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
Teori ini menyatakan bahwa seorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang diberlakunya.
2.      Praduga untuk selalu bertanggung jawab
Teori ini menyatakan bahwa tergugat selalu dapat dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
3.      Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab
Teori ini adalah kebalikan dari prinsip kedua, dimana pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggung jawabannya dan konsumenlah yang menanggung segala resiko. Teori praduga untuk tidak bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.
4.      Tanggung jawab mutlak
Teori tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen memasarkan produknya yang merugikan konsumen.[17]
Dalam hukum perlindungan konsumen pelaku usaha harus dapat dimintakan pertanggung jawaban, yaitu jika perbuatannya telah melanggar hak-hak dan kepentingan konsumen, menimbulkan kerugian atau kesalahan konsumen terganggu.[18] Tanggung jawab pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen tetapi terdapat tanggung jawab masing-masing. Atas dasar keterkaitan yang berbeda maka pelaku usaha melakukan kontak dengan konsumen dengan tujuan tertentu yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan peningkatan produktifitas dan efisiensi. Sedangkan konsumen hubungannya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup.
Dengan demikian pengertian tanggung jawab pelaku usaha yaitu keadaan yang disebabkan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan pembuatan produk yang terjadi karena kesalahan, kelalaian dang kurang hati-hati, sehingga mewajibkan pelaku usaha sebagai pembuat produk menanggung segala akibatnya sebagai resiko dari perbuatan tersebut.

2.2       Perusahaan Penerbangan
2.2.1    Pengertian perusahaan penerbangan
Perusahaan penerbangan adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman, dan benda pos dengan pesawat udara. Perusahaan penerbangan juga diartikan sebuah organisasi yang menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau brang.[19]
Dari beberapa pengertian dapat di simpulkan pengertian perusahaan penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan udara yang memberikan dan menyelenggarakan pelayanan jasa angkutan udara yang mengeoperasikan dan menerbitkan dokumen penerbangan dengan teratur dan terencana untuk mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang kiriman, dan benda pos ke tempat tujuan[20].
2.2.2    Syarat-syarat dan izin usaha perusahaan penerbangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, disebutkan bahwa :
1.      Mendapat ijin usaha dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
2.      Ijin tersebut meliputi :
a.       Izin usaha angkutan udara niaga berjadwal;
b.      Izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal.
3.      Izin tersebut berlaku dan akan dievaluasi setiap 3 tahun, pemegang izin harus menjalankan usaha secara nyata dan beroperasi terus menerus ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Lampiran permohonan izin :
a.       Akta pendirian perusahaan dalam bentuk PT, telah disahkan oleh menteri yang berwenang dan salah satu pokok usahanya dibidang angkutan udara niaga berjadwal / tidak berjadwal;
b.      Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c.       Surat keterangan domisili diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
d.      Surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal daerah apabila yang bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman modal;
e.       Tanda bukti modal;
f.       Bank garansi / jaminan bank;
g.      Rencana bisnis dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 5 tahun.
Syarat a-f menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisir oleh instansi yang mengeluarkan, apabila diperlukan direktorat jenderal dapat meminta pemohon menunjukkan dokumen aslinya. Jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan yaitu :
1.      Angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 pesawat udara dan menguasai 5 unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
2.      Angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki 1 unit pesawat udara dan menguasai 2 unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
3.      Angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 unit pesawat udara dan menguasai 2 unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.

2.3       Ganti Rugi
2.3.1    Pengertian ganti rugi
            Ganti rugi apabila undang-undang menyebutkan rugi, maka yang dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau di perkirakan pada saat perikatan diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji[21]. Jumlah ganti rugi ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji[22].
Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 19 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari kalender setelah tanggal transaksi.
            Definisi dari ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata, penggantian biaya kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Perngertian kerugian dalam Pasal 1243 KUHPer ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi. Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai.[23]
2.3.2    Jenis dan macam ganti rugi
1.      Ganti rugi dalam kontrak syaratnya kesulitan bila terjadi wanprestasi, merupakan estiminasi masuk akal dan adil, masuk akal ketika diprediksi, terjadinya inconvenience, tidak feasible jika tidak ditetapkan;
2.      Ganti rugi dalam bentuk ekspektasi yaitu ganti rugi dihitung dari jumlah yang dikeluarkan dan ditambah keuntungan bila seandainya kontrak tidak wanprestasi;
3.      Ganti rugi dalam bentuk pergantian biaya yaitu mengganti biaya yang telah dikeluarkan dalam bentuk out of pocket, keadaan dikembalikan seolah-olah kontrak tidak pernah terjadi;
4.      Ganti rugi dalam bentuk pergantian restitusi yaitu pengambilan suatu nilai tambah yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi;
5.      Quantum merit yaitu bentuk lain dari restitusi yaitu bila pengembalian kepada pihak yang dirugikan bukan berupa manfaat melainkan dalam bentuk reasonable value atau nilai wajar dari hasil kontrak yang telah dilakukan[24].

2.4       Bagasi
2.4.1    Pengertian bagasi
            Menurut Suharto mendefenisikan bahwa “bagasi merupakan suatu artikel, harta benda berharga atau barang-barang pribadi milik penumpang yang diijinkan oleh maskapai penerbangan untuk diangkut ke dalam pesawat dan merupakan kebutuhan penumpang selama melakukan perjalanan”.[25] Pengertian bagasi itu sendiri telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bagasi adalah barang bawaan penumpang yang berisi barang-barang kebutuhan penumpang yang akan digunakan selama dalam perjalanan, yang diijinkan oleh airline untuk diangkut dalam pesawat udara.
Bagasi memiliki 4 arti, bagasi adalah sebuah homonym karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Bagasi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga bagasi dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Bagasi atau barang bawaan terdiri dari tas, kotak, dan kontainer yang memuat artikel milik pelancong saat sedang dalam perjalanan.
Penanganan bagasi penumpang haruslah melalui prosedur yang ditetapkan oleh IATA (International Air Transport Association), pada proses ground handler ini memiliki urutan dari pemeriksaan bagasi oleh security check, penimbangan bagasi dan pelebelan bagasi serta diberikan baggage claim tag, lalu melakukan pembayaran apabila bagasi melebihi ketentuan. Kemudian bagasi dibawa dan dimasukan ke dalam pesawat (loading proses), setelah sampai di stasiun tujuan bagasi akan diturunkan atau dibongkar (unloading proses) oleh petugas bagasi lalu dibawa ke bagian pengambilan bagasi (baggage claim area).
Beberapa aspek yang tidak boleh diabaikan dari baggage handling adalah:
1.      Safety & Secure (keamanan & keselamatan);
2.      Punctuality (ketepatan waktu);
3.      Reability (kehandalan pelayanan yang di berikan);
4.      Costumer Satisfication (kepuasan pelanggan, yang dalam hal ini berupa penumpang dan pihak airlines).[26]
Penumpang akan mengambil bagasi mereka di conveyor belt atau baggage claim area. Setelah mereka mendapatkan bagasi yang dikehendaki, mereka harus menyerahkan nomor label bagasi yang tertempel pada boarding pass atau tiket awal pada petugas bagasi untuk mencocokkan apakah bagasi yang sudah diambil benar milik mereka dan menghindari tertukarnya bagasi dengan penumpang lain. Karena, apabila penumpang sudah keluar dari pintu kedatangan / arrival gate segala bentuk keluhan atau complaint mengenai bagasi tidak akan diterima oleh petugas baggageservice. Namun jika pada saat penumpang mengambil bagasi mendapati bagasi hilang, rusak, penumpang diharapkan melapor kepada petugas baggage service atau unit lost and found untuk segera ditidaklanjuti.[27]
Menurut Airport Handling Manual (AHM 810) tentang IATA standart ground handling agreement, annex a ground handling service, section 4, sub section 4, meliputi:
1.      Baggage handling, yang menangani bagasi di baggage sorting area dan penyiapan pengiriman / pengantaran kedalam pesawat;
2.      Menetapkan berat bagasi yang disusun;
3.      Menurunkan atau mengeluarkan bagasi dari kendaraan, membongkar dan mengosongkan tempat bagasi, memeriksa bagasi yang datang;
4.      Memisahkan bagasi transfer dan menyimpan bagasi transfer dalam suatu periode sampai waktu keberangkatan / pengiriman;
5.      Menyediakan atau mengatur pengangkutan bagasi ke sorting area dari departemen yang akan menerima;
6.      Menangani bagasi awak pesawat (crew baggage) sesuai dengan kesepakatan bersama.[28]
2.4.2    Jenis-jenis bagasi
Pengangkutan barang merupakan salah satu bentuk produk atau layanan perusahaan penerbangan. Hampir setiap penumpang yang menggunakan jasa transportasi udara membawa barang baik barang keperluan sehari-hari atau barang untuk dijual kembali. Barang-barang yang dibawa tersebut beraneka ragam jenis antara lain pakaian, perhiasan, alat elekrtonik dan lain-lain. Dalam kegiatan penerbangan, barang biasanya disebut dengan bagasi. Bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada dua macam, yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin.  Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, bagasi tercatat dan bagasi kabin dibedakan sebagai berikut:
1.      Bagasi tercatat adalah bagasi yang terdaftar dan diangkut di dalam pesawat yang biasa disebut cargo compartment. Untuk prosedurnya bagasi ini sebelumnya harus ditimbang dahulu di check-in counter dan beratnya harus sesuai apabila melebihi daya angkut maka penumpang akan dikenakan biaya bagasi lebih dan itu tergantung dari perusahaan penerbangan itu sendiri. Bagasi penumpang akan mendapatkan label yang biasa disebut claim tag dan itu tandanya bagasi ini telah terdaftar. Fungsi dari claim tag adalah bukti dari kepemilikan bagasi, dan apabila penumpang mengalami kerusakan maupun kehilangan maka claim tag ini akan diserahkan ke bagian lost and found yang bekerja melacak bagasi tersebut. Untuk menghindari kerusakan pada bagasi atau isinya selama perjalanan, pihak maskapai memberikan beberapa ketentuan, yaitu :
a.       Agar penumpang mengemas barang bawaan dalam koper yang layak;
b.      Menempelkan tanda atau label identifikasi berisi alamat dan nomor telepon pada bagasi penumpang. Jika bagasi hilang, identifikasi ini memungkinkan pihak pengangkut untuk menemukannya;
c.       Untuk melindungi barang-barang bawaan dan mencegah kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan, pihak pengangkut mengingatkan agar penumpang tidak menempatkan barang yang mudah pecah, mudah busuk, atau barang pribadi penting;
d.      Bagi penumpang yang membawa perangkat elektronik dengan baterai litium ion di bagasi tercatat, harus memastikan bahwa :
1)      Penumpang melakukan langkah-langkah untuk melindungi perangkat dari kerusakan dan untuk mencegah aktivasi tanpa sengaja. (Membungkus dengan kain / material bantalan lain atau dikemas dalam paket yang kokoh);
2)      Perangkat harus benar-benar dimatikan. (Bukan dalam mode siaga, tidur, atau hibernasi);
3)      Untuk menghindari cedera pada Porter (petugas bagasi), berat bagasi tercatat tidak boleh melebihi 32 kg per buah. Jika bagasi tercatat melebihi 32 kg per buah, akan diminta untuk mengemas ulang. Untuk benda tertentu yang melebihi 32 kg per buah, penumpang diharapkan untuk hubungi kantor reservasi pihak maskapai terlebih dahulu dan untuk mendapatkan persetujuan minimal 24 jam sebelum keberangkatan penerbangan;
2.      Bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 1 angka 24 dan 25. Bagasi kabin hanya mencakup barang / benda yang cocok untuk dibawa ke dalam kabin pesawat. Barang-barang yang boleh dibawa masuk ke dalam kabin pesawat adalah tas untuk diletakkan di bagasi kabin yang berisi barang-barang tidak berbahaya dan barang pribadi lain yang berukuran kecil. Barang berukuran kecil yang boleh dibawa ke dalam pesawat adalah :
a.       Tas tangan atau dompet;
b.      Buku saku;
c.       Laptop beserta tasnya;
d.      Kamera kecil;
e.       Makanan bayi atau makanan dengan diet khusus;
f.       Payung;
g.      Tongkat;
h.      Barang bebas pajak.
Untuk cairan, aerosol, ataupun gel pihak maskapai juga memiliki peraturan tertentu jika ingin dibawa ke kabin, yaitu :
a.       Tidak boleh lebih dari 100 ml per kemasan;
b.      Harus ditempatkan di dalam wadah yang tidak mudah terbuka dan tumpah.
3.      Unaccompanied baggage / luggage adalah barang bawaan penumpang yang dikirim atau diangkut sebagai kargo. Barang bawaan tersebut diangkut terlebih dahulu atau diangkut belakangan pada penerbangan selanjutnya. Biaya angkutnyapun diberlakukan sebagai layaknya kargo (berat minimal per kilogram, jarak dan rute yang ditempuh, jenis barang, media pembungkus, dokumen yang digunakan, dll).
Namun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan ada pula beberapa jenis barang atau benda yang tidak diperkenankan untuk dibawa oleh penumpang baikbagasi tercatat maupun bagasi kabin, yaitu :
1.      Bahan peledak, peluru, petasan dan kembang api;
2.      Gas bertekanan seperti butane, oksigen, propane, aqualung;
3.      Benda padat yang mudah terbakar seperti korek api, cat, danthiner;
4.      Zat oksidasi seperti bleaching powder dan peroksida;
5.      Tas kantor dan tas yang dilengkapi alat pengaman berisi alaramn di dalamnya;
6.      Zat beracun seperti cyanides, arsenic;
7.      Radio active material;
8.      Corrosive material seperti mercury dan wet batteries;
9.      Bahan-bahan yang mengandung magent.

2.5       PT.Garuda Indonesia Airlines
PT. Garuda Indonesia Airlines adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia. Garuda adalah nama wahana tunggangan Dewa Wisnu dalam mitologi India kuno. Pada tahun 2007, maskapai ini bersama dengan maskapai Indonesia lainnya (termasuk anak perusahaan Garuda Indonesia, Citilink), dilarang terbang menuju Eropa karena kejadian yang menimpa pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan 200. Setahun kemudian, maskapai ini menerima sertifikasi IATA Operational Safety Audit (IOSA) dari IATA yang menunjukkan Garuda Indonesia telah memenuhi standar keselamatan penerbangan Internasional. Perbaikan layanan dan meningkatnya kualitas layanan maskapai membuat Garuda menjadi pemenang kategori "World's Most Improved Airline" dari Skytrax. 1 Juni 2010 menjadi hari bersejarah bagi Garuda Indonesia, dimana pembukaan kembali rute Amsterdam dilaksanakan menggunakan Pesawat Airbus A330-200 dengan perhentian di Dubai.[29] Pada bulan Juni 2012, Garuda Indonesia dengan klub sepak bola Liverpool FC, Inggris mengadakan perjanjian kerjasama dan kini merupakan sponsor global untuk Liverpool FC. Tahun 2013, Garuda Indonesia mendapat dua penghargaan dari Skytrax yaitu "World Best Economy Class" dan "World Best Economy Class Seat". Pada pertengahan tahun 2014, Garuda Indonesia mendapat penghargaan "World's Best Cabin Crew".[30]
Pada tanggal 5 Maret 2014, Garuda Indonesia resmi bergabung dengan aliansi SkyTeam sebagai anggota ke-20 yang peresmiannya berlangsung di Denpasar, Bali. Pada tanggal 30 Mei 2014, Garuda Indonesia melayani rute ke Amsterdam dengan nonstop menggunakan pesawat Boeing 777-300ER yang memiliki kabin terbaru dari semua armada. Pada tanggal 8 September 2014, Garuda Indonesia memperpanjang rute penerbangannya menuju London. Pada tanggal 11 Desember 2014, bertepatan dengan mundurnya Dirut Garuda Indonesia saat itu, Emirsyah Satar, Garuda Indonesia mendapat anugerah penghargaan sebagai maskapai "berbintang 5" sedunia dari Skytrax dan menjadi anggota dari 8 maskapai dunia yang mendapat penghargaan tersebut.[31]
Maka pada tanggal 28 Desember 1949, penerbangan bersejarah menggunakan pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair terbang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta menuju Jakarta untuk menghadiri upacara pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan nama Garuda Indonesian Airways, yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini.
1.      Dekade 1920-1930-an: Perintis transportasi udara
Berhasilnya penerbangan pertama yang diawali oleh Wright Bersaudara pada Tahun 1903 di Kitty Hawk, Carolina Utara. Membuat para penerbang lain bermunculan dan mulai melakukan berbagai penjelajahan yang luar biasa seperti yang dilakukan oleh Charles Lindbergh yang melakukan penerbangan dari New York menuju Paris melintasi Samudera Atlantik yang dinilai sebagai salah satu pencapaian fantastis pada saat itu, tak hanya menggugah para masyarakat yang kelak menjadi penerbang yang ulung, tapi juga mendorong para negara penjajah untuk memanfaatkan daerah jajahannya dengan melengkapi teknologi yang baru saja diadakan ini, termasuk Belanda.[32]
Belanda dalam rangka memperkuat sistem penjajahannya, mereka memperkuat sistem perhubungan yang berpengaruh, dengan mendirikan perusahaan tranportasi udara yang bernama KNILM pada tanggal 24 Oktober 1928 dengan modal sebesar 5 juta Gulden yang dihimpun dari 32 perusahaan dan pengusaha besar. Kemudian, dana yang telah dikumpulkan ini digunakan untuk mendatangkan pesawat jenis Fokker VIII Trimotor yang berjumlah sebanyak 4 armada dari Belanda. Setelah menempuh perjalanan yang rentang waktunya berbeda-beda, operasional pertama KNILM diresmikan pada tanggal 1 November 1928 oleh Gubernur Jenderal Belanda, De Graef yang disaksikan oleh H. Nieuwenhuis sebagai kepala KNILM, TH.J. De Bruyn sebagai kepala administrasi keuangan dan Behege sebagai kepala dinas teknik serta Meal De Jong sebagai handelszaken (Kepala Bagian Niaga) bersama warga Batavia di Bandara Cililitan. Setelah berkembang lama, maskapai ini mati akibat Perang Dunia 2 yang diakibatkan oleh invasi Jepang ke Asia Tenggara.[33]
2.      Awal pendirian, perjuangan, dan menjadi maskapai nasional
Setelah penerbangan KNILM bubar pada bulan Maret 1942 bersamaan dengan Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, Belanda kembali mendirikan maskapai lagi yang bernama KLM Interinsulair Bedrijf pada tanggal 1 Agustus 1947 atau setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Belanda kembali ke Hindia Belanda. Tujuan Belanda mendirikan KLM Interinsulair Bedrijf ini adalah untuk kembali melayani daerah jajahannya dengan menggunakan pesawat Dakota sebanyak 20 unit yang merupakan bekas pakai dari KLM. Namun, tak lama kemudian pada tanggal 28 Desember 1949 sebagai bagian dari pelaksanaan perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, KLM IIB diserahkan kepada pihak Indonesia lalu diganti namanya menjadi Garuda Indonesian Airways (GIA) (Sehingga hari tersebut dijadikan sebagai hari jadi de facto Garuda Indonesia), di mana satu Dakota beregistrasi PK-DPD yang membawa Presiden Soekarno terbang dari Jogjakarta (ibukota perjuangan) menuju Jakarta (ibukota negara). Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari KLM. Garuda Indonesia pada awalnya adalah hasil joint venture antara pemerintah Indonesia dengan KLM dengan kalkulasi pemerintah Indonesia memiliki 51% saham. Selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola oleh KLM. Tetapi karena paksaan nasionalis, KLM menjual sebagian dari sahamnya pada tahun 1954 ke Pemerintah Indonesia dan pada waktu yang bersamaan, maskapai ini memiliki 46 pesawat, termasuk 14 pesawat DeHavilland Heron yang dibeli
Garuda antara 1953-1954. Tahun 1955, Garuda Indonesia meresmikan pelayanan penerbangan haji menuju Jeddah dengan rute Jakarta - Bangkok - Kolkata - Karachi - Sarjah - Jeddah menggunakan pesawat Convair CV-340.[34]
3.      Dekade 1960-1970-an: Perkembangan signifikan dan berekspansi
Memasuki dekade baru, garuda me-phase out De Havilland Heronnya pada 1960. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka menjualnya, Garuda menjual Heron mereka kepada Fujita Airlines asal Jepang, salah satunya jatuh pada 17 Agustus 1963. Dekade ini merupakan dekade pembangunan sekaligus kemajuan untuk Garuda. Pada tahun 1961, Garuda mendatangkan pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra, ketiga pesawat baru itu masuk dinas aktif pada bulan Januari 1961 dan diberi nama "Pulau Bali", "Candi Borobudur" dan "Danau Toba", yang merupakan nama tujuan wisata Indonesia yang paling dikenal di luar negeri, tahun 1963, Garuda membuka rute penerbangan menuju Tokyo dengan pesawat L-188 dengan perhentian di Hongkong, rute ini kemudian dikenal dengan nama "Emerald Route".[35]
Garuda memasuki era jet pada tahun 1964 dengan datangnya tiga pesawat baru Convair 990A yang diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan "Sriwijaya", yang merupakan nama kerajaan kuno di Indonesia dan menjadikan Garuda Indonesia maskapai pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan pesawat jet subsonik. Saat itu, jet bermesin empat Convair 990 merupakan pesawat berteknologi canggih dan memiliki kecepatan tertinggi dibandingkan pesawat-pesawat lain yang sejenis, seperti Boeing 707 dan Douglas DC-8. Dengan pesawat ini pula Garuda membuka penerbangan antarbenua dari Jakarta ke Amsterdam melewati dengan rute Jakarta - Bangkok - Mumbai - Karachi - Kairo - Roma - Frankfurt - Amsterdam Pada tahun 1966, Garuda kembali memperkuat armada jetnya dengan mendatangkan sebuah pesawat jet baru, yaitu Douglas DC-8. Sementara, pada akhir tahun 1960-an, Garuda membeli sejumlah pesawat turboprop baru seperti, Fokker F27. Pesawat ini datang secara bertahap mulai tahun 1969 hingga 1970 dari hasil penjualan beberapa pesawat berbadan lebar untuk memenuhi pasar domestik yang terus berkembang. Pada 1970, rute menuju Kairo diganti menuju Athena.[36]
4.      Dekade 1970-1980-an: Berkembang maju dan mendunia
Dilanjutkan pada dekade 1970-1980-an. Wiweko Soepono Dirut Garuda Indonesia, melakukan program revitalisasi perusahaan yang mencakup perbaikan layanan, mengganti sistem manajemen, anti-KKN, memperbarui dan menambah armada serta menambah rute Domestik dan Internasional kemudian, beberapa pesawat di jual untuk menggarap pasar domestik dengan Fokker F-27 dan Fokker F-28 dan pada pertengahan 1970an, muncul di mana sebuah tren kenaikan jumlah penumpang yang naik pesawat dan tren tersebut tidak disia-siakan oleh Wiweko dalam rencananya yang bernama Buy now for tomorrow profit untuk membeli pesawat berbadan lebar dengan jarak jangkauan yang jauh dan penumpang yang banyak yaitu, Boeing B747-200 dan Douglas DC-10-30 yang di peruntukkan Garuda menerbangi rute baru di Benua Asia, Australia dan Eropa dan pada tahun 1982 Garuda Indonesia menjadi maskapai pengguna pertama Airbus A300B4-600 FFCC (Modifikasi kokpit dengan 2 awak). Memiliki inisiatif dan inovasi yang menarik di Garuda Indonesia, Wiweko yang menjabat menjadi Dirut selama 16 tahun berhasil membawa GIA menjadi maskapai terbesar ke 2 se Asia setelah Japan Airlines serta menjadi maskapai terbesar dan berpengaruh di belahan bumi bagian Selatan.[37]
Kemudian pada tahun 1985, pimpinan GIA digantikan oleh R.A.J Lumenta. Kemudian, Ia melakukan re-branding terhadap maskapai dengan mengubah nama dari Garuda Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesia dan memindahkan pangkalan utama yang sebelumnya berada di Bandara Kemayoran dan Bandar Udara Halim Perdanakusuma dipindahkan ke Soekarno Hatta dan melakukan perbaikan sistem manajemen dan penambahan rute. Pada tahun 1985, Garuda Indonesia berhasil merintis penerbangan menuju Amerika Serikat dengan Douglas DC-10-30 bersama maskapai Continental Airlines dengan destinasi Los Angeles dan berhenti di Denpasar-Biak-Hawai dengan menggunakan logo spesial gabungan dari Continental Airlines dan Garuda Indonesia.[38]
5.      Dekade 1990-2000-an: Kesulitan ekonomi, kecelakaan beruntun dan reputasi buruk
Selama dekade 1990an, Garuda Indonesia melakukan peremajaan armada dengan melakukan pembelian armada pesawat 9 unit McDonnell-Douglas MD-11 yang datang pada tahun 1991 untuk mengganti peran sebagai Pesawat Douglas DC-10, yang diikuti oleh berbagai seri keluarga Boeing 737 Classic yang datang tahun berikutnya, sebagai pengganti DC-9, serta Boeing 747-400 yang datang tahun 1994, dengan skema pembelian yang terdiri dari 2 dibeli langsung dari Boeing, 1 dibeli dari Varig dan Airbus A330-300 yang datang tahun 1996. Pada masa ini juga, Garuda Indonesia mengalami dua musibah besar yang terjadi di dua tempat yang memakan korban dalam jumlah yang cukup besar, yaitu peristiwa Garuda Indonesia Penerbangan 865 yang terbang dari Fukuoka, Jepang, dan satunya lagi terjadi pada pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 152 yang bertempat kejadiankan di Desa Sibolangit, Sumatera Utara. Musibah yang kedua ini menewaskan seluruh penumpangnya, disamping itu, maskapai ini sejak 1997 juga terkena imbas Krisis Finansial Asia yang juga membuat keuangan Indonesia menjadi lesu. Hal ini membuat Garuda harus memotong semua rute yang tidak menguntungkan, terutama rute jarak jauh menuju ke Eropa maupun Amerika. Disamping menutup rute jarak jauh yang tidak menguntungkan, maskapai ini juga melakukan penyesuaian ulang terhadap rute domestik yang ada, serta mengganti jumlah pesawat yang sudah tua secara bertahap dengan menjual, mengalihkan dan memensiunkan armada Fokker F28 dan Airbus A300 yang ada.[39]
Deregulasi maskapai penerbangan Indonesia yang dinaungi peraturan perundangan-undangan UU No 5/1999 (membahas tentang pembatasan praktik monopoli usaha) dan SK Menteri Perhubungan No 11/2001 (membahas tentang tata operasional awal maskapai penerbangan dengan batasan armada minimal 2 pesawat), menyebabkan Garuda Indonesia kehilangan hegemoni besarnya dalam pasar penerbangan Indonesia, yang berakibat pada menurunnya pangsa kemilikan pasar Garuda Indonesia yang telah kosong dan dimanfaatkan oleh maskapai berbiaya rendah seperti, Pelita Air Service, Awair, Lion Air dan Jatayu Airlines. Hal ini makin memperparah dan menyudutkan posisi Garuda yang berada pada situasi yang sulit. Bagaimana tidak, sudah merugi sejak tahun 1994 dan terus berutang tanpa membayar, ditambah lagi dengan budaya kerja yang sangat birokratis dan lamban eksekusinya membuat sistem yang ada menjadi "tidak ramah dengan ide dan kreativitas" yang berakibat pada terhambatnya performa kompetitivitas Garuda Indonesia dengan maskapai penerbangan lain, belum lagi dengan banyaknya pejabat yang memanfaatkan hubungannya dengan maskapai ini untuk mendapat kemudahan tersendiri yang berdampak pada rendahnya indeks ketepatan waktu yang tercermin pada seringnya terjadi penundaan keberangkatan pesawat.[40]
Maskapai penerbangan PT. Indonesian Airlines Aviapatria (Indonesian Airlines) didirikan tahun 1999 dan mulai beroperasi Maret 2001. Pada September 1999, ia memperoleh izin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penerbangan berjadwal di 46 rute. Perusahaan ini dimiliki oleh investor perorangan (75%) dan Rudy Setyopurnomo (25%), Presiden Direktur maskapai ini. Indonesian Airlines menghentikan operasinya pada tahun 2003. Setelah itu kantor pusatnya digabungkan dengan Garuda Indonesia.Rudy Setyopurnomo kemudian bekerja pada Grup RGM Group yang mengoperasikan 4 pesawat kecil.[41]

BAB III
BENTUK TANGGUNG JAWAB PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES
ATAS KERUSAKAN BAGASI TERCATAT

3.1       Prinsip Tanggung Jawab Pada Umumnya Dalam Pengangkutan
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut disini bisa berarti produsen / pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran / penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Dari perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak.
Tanggung jawab (liability) dapat pula diartikan sebagai kewajiban untuk membayar uang atau melaksanakan jasa lain, kewajiban yang pada akhirnya harus dilaksanakan. UU Penerbangan mendefinisikan tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau barang serta pihak ketiga. Dengan demikian dapat diartikan tanggung jawab (liability) adalah kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita pihak lain, misalnya dalam perjanjian pengangkutan udara, maskapai penerbangan bertangggung jawab atas keselamatan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya sampai di tempat tujuan. Oleh karena itu apabila timbul kerugian yang

diderita oleh penumpang maka maskapai penerbangan harus bertanggung jawab dalam arti liability. Tanggung jawab di sini diartikan maskapai penerbangan wajib membayar ganti rugi yang diderita oleh penumpang dan apabila ingkar janji, maskapai penerbangan dapat digugat di pengadilan.
Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan. Tanggung jawab juga merupakan suatu upaya yang dijadikan jaminan untuk konsumen jika konsumen mengalami kerugian[42].
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait[43].
            Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan setidaknya dikenal dengan adanya 3 prinsip tanggung jawab yaitu :
1.      Konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (base on fault liability), berdasarkan konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan, prinsip ini dikenal pada tahap awal pertumbuhan hukum Romawi termasuk dalam doktrin “culpa” dalam lex aquilia. Lex aquilia menentukan bahwa kerugian baik disengaja ataupun tidak harus selalu diberikan santunan.[44]
Kelalaian atau kesalahan produsen yang berakibat pada timbulnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu hak konsumen untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada produsen. Tuntutan ganti rugi berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti lain yaitu, pertama pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untukmelakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen. Kedua produsen tidak melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk digunakan. Ketiga konsumen menderita kerugian. Keempat kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen.
Tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab yang telah disebutkan ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum berlaku umum terhadap siapapun. Menurut Pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu menimbulkan mengganti kerugian.
Tanggung jawab pengangkut terbatas setinggi-tingginya sebesar kerugian penumpang. Konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan dirasakan adil apabila kedudukan kedua belah pihak mempunyai kemampuan yang sama sehingga mereka dapat saling membuktikan kesalahan.
2.      Konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah, penumpang atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan pengangkut sebab pengangkut telah dianggap bersalah.
Tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dapat mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan. Dalam prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja beban pembuktian menjadi terbalik yaitu pada tergugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah.
Menurut konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah, perusahaan penerbangan dianggap bersalah sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah yang dikenal sebagai beban pembuktian terbalik[45].
3.      Konsep tanggung jawab mutlak, ketentuan ini mencirikan pula bahwa UUP menganut konsep tanggung jawab mutlak berdasarkan konsep tanggung jawab ini korban tidak perlu membuktikan kesalahan. Menurut prinsip ini, bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam hal ini tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah atau suatu prinsip pertanggung jawaban yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak ada. Pengangkut tidak mungkin beban dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian bagi penumpang atau pengirim barang. Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan.
Berdasarkan pada asas-asas yang ada dalam hukum pengangkutan, maka ada hubungan timbal balik antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Dan sebagai pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang dipercayakan kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.

3.2    Bentuk Tanggung Jawab Pengangkutan Udara Atas Kerusakan Bagasi Tercatat Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
            Kasus kerusakan bagasi sering terdengar di dunia penerbangan Indonesia. Hal ini termasuk salah satu resiko saat terbang yang berhubungan dengan handling dari pihak ground handling maskapai maupun alasan lain. Kerusakan biasanya terjadi pada bagasi yang tercatat saat check in, namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada bagasi yang dibawa ke kabin[46].
Dikutip dari Pasal 5 Permenhub 77/2011, besarnya jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada penumpang adalah sebagai berikut :
1.      Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut:
a.       Kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan
b.      Kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.
2.      Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.
3.      Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan, belum dapat dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.
Meski demikian, menurut Pasal 6 ayat 1 dan 2, maskapai dibebaskan dari tuntutan ganti rugi terhadap barang berharga yang disimpan dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat check-in penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa di dalam bagasi tercatat terdapat barang berharga atau barang yang berharga, dan pengangkut setuju untuk mengangkutnya. Maskapai biasanya akan meminta penumpang untuk mengasuransikan bagasi tersebut.
Kerusakan bagasi saat terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada penumpang. Hal ini tertuang pada Peraturan Menteri Pehubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Dalam Pasal 2 huruf C disebutkan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara (maskapai) bertanggung jawab atas kerugian terhadap hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tercipta dari munculnya Konvensi Cape Town 2001 yang sebagian besar substansinya diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
            Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Sementara pengertian dari tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. 
            Pemerintah mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan mewajibkan seluruh maskapai penerbangan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada penumpang. Peran pemerintah dalam menyikapi pelanggaran hak perlindungan konsumen adalah dengan melakukan pembinaan sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan diantaranya penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Pengaturan sebagaimana dimaksud meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
Dalam menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab ada hal penting yang harus diterapkan sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab hal yang perlu diketahui tersebut adalah prinsip-prinsip tanggung jawab. Prinsip tanggung jawab dalam bidang hukum pengangkutan itu ada tiga macam yaitu prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan, prinsip tanggung jawab dasar praduga bersalah, prinsip tanggung jawab mutlak. Dalam pembedaan ketiga prinsip tanggung jawab tersebut dapat dilakukan melalui pihak mana yang harus membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan ketika terjadi sengketa[47].
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 memberikan pengertian dan tanggung jawab pengangkut dan penanganan secara terpisah antara bagasi tercatat dan bagasi kabin beserta. Upaya tanggung jawab pengusaha angkutan udara jika penumpang tidak mendapatkan pelayanan berupa keterlambatan jadwal dan tanggung jawab terhadap kerusakan dan kehilangan bagasi dalam angkutan udara. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung tanpa perantara pihak ketiga, negosiasi bersifat informal dan tidak berstruktur serta waktunya tidak tentu, efesiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya pada para pihak.
Prinsip tanggung jawab mutlak menetapkan bahwa selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul selama penerbangan dan tidak bergantung pada ada tidaknya unsur kesalahan di pihak maskapai, kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan, dengan syarat maskapai harus membuktikan bahwa keterlambatan ini disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional sebagaimana diatur di Pasal 146 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur tanggung jawab dengan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 240 dan 242 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, menurut undang-undang tersebut mengatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan orang perorangan warga Indonesia yang dimaksud dengan badan usaha bandar udara dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara. Menurut Pasal 240 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengeoperasian bandar udara. Tanggung jawab tersebut meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan serta keruskan dampak lingkungan diakibatkan pengoperasian Bandar udara. Sedangkan Pasal 242 menyebutkan ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administrasi lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia.Berdasarkan pemberitahuan tentang tanggung jawab bagasi yang rusak dan administrasi PT. Garuda Indonesia Airlinesyang disebutkan dibawah Konvensi Montreal Bab III Pasal 17 menyebutkan bahwa pihak pengangkut hanya akan memberikan ganti rugi apabila kesalahan terjadi dikarenakan murni oleh pihak pengangkut, akan tetapi apabila bagasi yang dibawa memang sudah rusak / cacat bukan menjadi tanggung jawab pihak pengangkut.
Menurut penjelasan Ibu Ni Wayan Lusiana Sari dan Ibu Ni Luh Puspita Adnyani,selaku petugas check in pada PT. Garuda Indonesia Airlines di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali menyebutkan bahwakehati-hatian para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya mampu menjamin keselamatan dan nyamannya para penumpang dari setiap pekerja, sehingga para pekerja mampu menjalankan tugasnya dan bertanggung jawab secara maksimal. Menurut pihak informan pernah adanya suatu masalah mengenai bagasi penumpang, akan tetapi pihak informan tidak menjelaskan secara detail mengenai hal tersebut, adanya masalah tersebut tentu saja sangat merugikan pihak penumpang. Menurut informan dalam penelitian ini penyelesaian masalah penyelesaian sengketa PT. Garuda Indonesia Airlines atas kerugian yang di derita penumpang akibat kerusakan bagasi tercatat penumpang dilakukan dengan cara melalui litigasi dan non litigasi. Dengan pemberian ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia Airlines kepada penumpang yang mengalami kerugian atas kerusakan bagasi tercatat penumpang tanpa harus melalui proses pengadilan (non litigasi). Menurut salah satu informan yang pernah menangani kasus kerusakan bagasi, dimana ada beberapa orang penumpang yang tidak mendapatkan ganti rugi karena alasan tertentu yang tidak bisa Informan sampaikan karena sudah menjadi peraturan perusahaan sehingga informan tidak berani memberitahukannya, adabeberapa orang penumpang yang mengalami kerusakan bagasi tercatat tidak mendapatkan ganti rugi atas kerusakan tersebut. Untuk melindungi keselamatan penumpang dan barang milik penumpang, perlindungan tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan serta Undang-Undang penerbangan yang berlaku. (Wawancara pada tanggal 1 Desember 2018).
Data penunjang dalam penelitian ini melakukan tanya jawab kepada responden dengan 3 sampel yaitu Rendha Rais,  I Putu Erawan, dan Silvia Flesenner dimana semuanya pernah mengalami kerusakan bagasi tercatat dalam angkutan udara di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
Responden dalam daftar tersebut semuanya pernah mengalami kerusakan bagasi tercatat. Dari 3 responden tersebut 1 diantaranya atas nama Rendha Rais mengatakan bahwa bentuk kerusakan berupa koper penyok yang cukup parah pada bagian bagasi.Rendha Rais mengatakan bahwa sudah menerima ganti rugi dari pihak maskapai akan tetapi ganti rugi tersebut tidak sesuai dengan nilai kerusakan barang. (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2018).
Sementara itu menurut I Putu Erawan salah satu responden mengaku pernah mengalami kejadian kerusakan pada bagasi, akan tetapi ia tidak ingin memperpanjang masalah kerusakan bagasi karena malas mengurus prosedur ganti rugi yang dianggap terlalu rumit dan memakan waktu cukup lama, sehingga responden lebih memilih untuk membiarkan permasalahan tersebut begitu saja. (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2018).
Kemudian responden atas nama Silvia Flessener mengatakan bahwa dia tidak diberikan ganti rugi apapun oleh pihak maskapai dan tanpa diberikan kepastian oleh pihak maskapai walaupun sudah mengikuti prosedur pengajuan ganti rugi yang benar. (Wawancara pada tanggal 10 Desember 2018).
            Semua responden mengaku tidak mengetahui tentang adanya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, selain itu pada saat check in dari 2 (dua) responden mengaku tidak ditanya oleh petugas check in, sehingga masih banyak kasus rusaknya bagasi tercatat, kasus tersebut bukan sepenuhnya kesalahan penumpang maupun pihak maskapai, hal ini karena faktor masih kurangnya sosialisasi peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam pengangkutan udara, baik dari pihak pemakai jasa maupun pihak penyedia jasa angkutan udara.
Dari kejadian tersebut sudah jelas membuat kerugian bagi penumpang karena penumpang dirugikan dengan tidak diberikannya ganti rugi seperti yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Sehingga selama perjalanan penumpang merasa tidak nyaman dan kecewa atas pelayanan pihak maskapai yang dianggap merugikan penumpang. Ketidaknyamanan ini mungkin saja akan berdampak pada nama baik PT. Garuda Indonesia Airlines karena bisa saja penumpang tersebut akan menceritakan kejadian yang dialaminya kepada penumpang lain atau membagikannya melalui media sosial yang dimilikinya.
Seperti fakta yang pernah terjadi yang pernah di alami oleh responden atas nama Rendha Rais, mengungkapkan pernah mengunggahnya ke akun pribadinya yang menyatakan bahwa mengalami kerugian atas kerusakan bagasi miliknya pada saat melakukan penerbangan. Dimana dalam berita kompas.com menyebutkan bahwa ada fakta yang pernah terjadi terkait dengan kerusakan bagasi penumpang di PT. Garuda Indonesia Airlines, salah satu pengalaman yang tidak mengenakkan saat menggunakan moda transportasi udara adalah jika koper yang dibawa mengalami kerusakan. Kekesalan tentu bertambah jika kerusakan koper itu terjadi bukan karena kesalahan kita, tetapi terjadi saat proses di bagasi. Salah satu penumpang Garuda Indonesia pun berbagi cerita tentang kopernya yang rusak setelah naik pesawat maskapai tersebut. Melalui insta story, akun Instagram milik Rendha Rais mengunggah foto kopernya yang penyok. Isi dalam insta story tersebut bahwa rendha sudah menyampaikan kepada pihak Garuda Indonesia, namun dari pihak garuda sendiri akan mengganti kerugian tersebut dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dialami penumpang. Pihak Garuda Indonesia Airlines juga siap bertanggung jawab, termasuk jika harus mengganti koper yang sama dengan milik penumpang. Namun pihak Garuda Indonesia Airlines menjelaskan ada beberapa prosedur yang dilakukan jika penumpang mengalami koper rusak di maskapai Garuda Indonesia Airlines, ada juga bentuk tanggung jawab terhadap kerusakan bagasi tersebut, dan ada beberapa yang disebutkan pihak Garuda Indonesia Airlines mengenai rusaknya bagasi penumpang juga membuat batasan tersendiri dalam pemberian ganti rugi. Adapun bentuk tanggung jawab terhadap kerusakan bagasi diantaranya kerusakan kategori minor, yakni secara fungsi barang yang disimpan bagasi tersebut masih dapat digunakan untuk menyimpan dan membawa isi. Misal : robek atau lubang kecil, patah salah satu roda, patah handle, handle bengkok, lepas tali pengikat, kerusakan pada resleting utama namun masih dapat ditutup kembali, kerusakan resleting pada kantong samping, kerusakan kunci, kerusakan asesoris yang menempel pada koper. Untuk kerusakan ini akan dilakukan perbaikan. Maka dari itu jika penumpang yang mengalami kerusakan bagasi wajib melapor kepada pihak maskapai, membaca prosedur yang ditunjukkan serta mengisi form yang telah diberikan oleh pihak maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines.


BAB IV
FAKTOR PENGHAMBAT SERTA UPAYA DALAM PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB GANTI KERUGIAN BAGI PENUMPANG YANG MENGALAMI KERUSAKAN BAGASI PADA PT. GARUDA INDONESIA AIRLINES

4.1       Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab PT. Garuda Indonesia Airlines Sebagai Pengangkut Terhadap Bagasi Tercatat Penumpang
PT. Garuda Indonesia Airlines dalam pemberian ganti rugi mengenai rusaknya bagasi pihak penumpang yang mengalami kerugian tersebut harus mengikuti prosedur-prosedur yang diberikan oleh pihak maskapai. Prosedur pelaksanaan bagasi dalam dunia penerbangan sudah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta standardisasi yang sama antara satu maskapai dengan maskapai lainnya. Prosedur disini maksudnya adalah tata cara, aturan, atau urutan proses pengiriman bagasi atau penerimaan bagasi dari stasiun keberangkatan sampai stasiun tujuan. Urutan tersebut dimulai dari pemeriksaan bagasi oleh security check, penimbangan bagasi dan pelabelan bagasi serta diberikan baggage claim tag lalu melakukan pembayaran apabila bagasi melebihi ketentuan, kemudian bagasi akan dimasukan kedalam pesawat (proses loading), dan bagasi distasiun tujuan di   turunkan atau di bongkar (proses unloading) oleh petugas, lalu bagasi dibawa ke bagian pengambilan.[48]

Pada umumnya kasus penyimpangan-peyimpangan yang timbul dari hasil pelayanan bagasi akan tampakpada saat penumpang tiba di stasiun tujuan akhir atau pada saat postflight service.Disini dapat terjadi beberapa penyimpangan seperti bagasi rusak atau hancur. Tata cara prosedur pelaksanaan bagasi rusak adalah sebagai berikut:
1.      Kerusakan atau kehilangan sebagian isi bagasi tercatat yang dilaporkan oleh penumpang setelah berada diarea kedatangan. Tidak dapat diterima dan tidak dapat dibuat PIR.
2.      Laporan kerusakan bagasi tercatat harus dilaporkan oleh penumpang pada hari yang sama saat bagasi diketahui rusak kepada unit lost and found.
3.      Unit lost and found mencatat data kerusakan atau kehilangan sebagian isi bagasi penumpang ke dalam from PIR rangkap 3 (warna putih, merah, hijau) dan di tandatangani oleh penumpang dan staf unit lost and found.
4.      Lembar asli PIR warnah putih dan claim tag dikirim ke unit central baggage tracing, lembar kedua (akan diberikan kepada penumpang) dan lembar ketiga (warna hijau) untuk file baggage service lost and found.
5.      Unit lost and found melakukan tracing dan investigasi terhadap laporan kerusakan ke unit terkait paling lama 3 hari kalender dimulai sejak bagasi di terima rusak.
6.      Unit lost and found menerima hasil tracing dan investigasi dari stasiun terkait, jika terjadi kerusakan bagasi tercatat yang diketahui setelah berada diluar area kedatangan.
7.      Laporan diterima sebagai courtesy report dan apabila hasil tracking dan investigasi bukan merupakan kesalahan pengangkut maka tidak terjadi ganti rugi.
Dalam proses pemberian ganti rugi tersebut pihak garuda memiliki batasan tersendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan terdapat batasan-batasan tanggung jawab dari PT. Garuda Indonesia Airlines sebagai pengangkut terhadap penumpang. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dijelaskan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional maka dari itu pihak maskapai memberikan batas ganti rugi atas kerusakan bagasi tercatat penumpang dengan ketentuan sebagai berikut[49] :
1.      Apabila bagasi tidak diterima pada saat kedatangan atau bagasi ditemukan dalam keadaan rusak, penumpang wajib segera melaporkannya ke kantor baggage service di area kedatangan sebelum meninggalkan bandara;
2.      Khusus untuk penerbangan internasional, tenggang waktu pelaporan kerusakan bagasi yang dapat ditindaklanjuti adalah tidak lebih dari 7 (tujuh) hari sejak tanggal kedatangan penerbangan atau sejak bagasi diterima;
3.      Laporan yang akan ditindaklanjuti adalah laporan yang wajib dilengkapi dengan dokumen baggage tag number, kartu identitas, dan boarding pass;
4.      Sebagai bukti laporan, petugas bagage service akan menerbitkan dokumen Property Irregularity Report (PIR);
5.      Proses pencarian bagasi yang dilaporkan hilang akan dilakukan dalam kurun waktu hingga 14 hari. Jika bagasi ditemukan, maka akan diantar ke alamat yang tercatat dalam dokumen PIR;
6.      Jika dalam kurun waktu 14 hari bagasi tidak ditemukan maka bagasi akan dinyatakan hilang dan dapat dilakukan klaim kompensasi atau ganti rugi;
7.      Batas waktu pengajuan hak atas kompensasi atau ganti rugi bagasi hilang atau rusak adalah 2 tahun sejak tanggal pembuatan PIR;
8.      Laporan yang diterima setelah meninggalkan area kedatangan (kecuali penerbangan internasional) atau tidak disertai dengan kelengkapan dokumen wajib, akan ditindaklanjuti sebagai laporan courtesy (courtesy report) dan dibuatkan bukti pelaporan berupa courtesy report form;
9.      Courtesy report adalah laporan atas terjadinya kehilangan atau kerusakan bagasi yang akan ditindaklanjuti tanpa ada kewajiban untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi;
10.  Courtesy report untuk kehilangan bagasi, tanggung jawab Garuda Indonesia Airlines adalah membantu proses tracing / pencarian dari laporan bagasi hilang. Courtesy report untuk bagasi rusak, laporan yang disampaikan akan menjadi referensi untuk perbaikan layanan bagasi;
11.  Jika bagasi tidak diterima pada saat kedatangan (tanggal dan nomor penerbangan yang sama), Garuda Indonesia Airlines akan memberikan First Need Compensation (FNC) / uang tunggu dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Penerbangan sektor domestik sebesar Rp. 200.000 per penumpang per hari, maksimum 3 hari.
b.      Penerbangan sektor internasional diberikan hanya 1 kali sebesar :
(1)   USD 75 untuk penumpang kelas ekonomi;
(2)   USD 100 untuk penumpang kelas bisnis;
(3)   USD 200 untuk penumpang first class.
Ganti rugi atas kerusakan bagasi paling lama adalah 14 hari kerja dihitung sejak bagasi diterima dan diketahui rusak. Maka dari itu dalam merealisasikan tanggung jawabnya, PT. Garuda Indonesia Airlines tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa faktor yang biasanya menjadi hambatan dalam pelaksanaan tanggung jawab, yaitu antara lain :
1.      Informasi data penumpang terkait ganti ruginya kurang lengkap khususnya bagi penumpang yang merupakan pendatang pada saat melakukan pelaporan kerusakan bagasi tercatat informasi tempat tinggal yang dicantumkan adalah tempat tinggal menginap di hotel;
2.      Informasi mengenai nomor telpon yang diberikan terkadang nomer telepon tersebut sulit dihubungi;
3.      Banyaknya penumpang yang belum mengetahui tentang prosedur pengajuan ganti rugi, sehingga untuk di proses ganti rugi bagasi yang rusak menjadi terhambat.

4.2       Upaya Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Ganti Kerugian Bagi Penumpang Yang Mengalami Kerusakan Bagasi Pada PT. Garuda Indonesia Airlines
Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari kalender setelah tanggal transaksi. Definisi dari ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dalam pemberian ganti rugi terjadi hambatan baik dari perusahaan, pemerintah maupun penumpang. Untuk mengatasi terjadinya hambatan diperlukan suatu upaya baik dari maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines, pemerintah dan penumpang.
Upaya dari pihak maskapai, Dalam masalah mengenai pelaksanaan tanggung jawab ganti kerugian terhadap kerusakan bagasi tersebut, maka upaya yang dapat diambil oleh PT. Garuda Indonesia Airlines adalah untuk data penumpang terutama data bagasi yang tercatat tersebut PT. Garuda Indonesia Airlines akan melakukan pengecekan ulang mengenai identitas penumpang dengan tiket penerbangan yang digunakan, serta terutama informasi data penumpang terkait dengan kerusakan bagasi tersebut lebih di lengkapi dan diperjelas alamat dan nomer telepon penumpang tersebut serta pihak maskapai selalu lebih berhati- hati dalam pengecekan bagasi milik penumpang agar tidak ada satu pun bagasi/barang milik penumpang yang rusak. Selain itu dalam pelaksanaan tanggung jawab ganti kerugian terhadap kerusakan bagasi pihak PT. Garuda Indonesia Airlines upaya yang dilakukan yaitu melaporkan kerusakan bagasi tersebut. Apabila telah dilaporkan sebagai barang berharga, maka biaya pengangkutannya telah diperhitungkan dengan biaya premi asuransi atas resiko kehilangan / kerusakan barang tersebut. Semakin tinggi nilai barang tentunya semakin besar premi asuransinya, sehingga semakin besar biaya pengangkutan barang yang harus dibayar. Apabila terjadi resiko maka pemilik barang akan mendapatkan nilai barang tersebut sesuai nilai pertanggungan barang tersebut. Dalam upayanya, apabila ada yang melaporkan kerusakan atau kehilangan bagasi, biasanya akan diselesaikan saat itu pula secara damai oleh petugas PT. Garuda Indonesia Airlines. Kerusakan atau kehilangan tersebut akan langsung diselidiki, dan apabila merupakan kesalahan dari PT. Garuda Indonesia Airlines maka akan langsung diurus ganti ruginya sesuai dengan barang tersebut.
Dalam hal rusak bagasi penumpang, PT. Garuda Indonesia Airlines bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa untuk kerugian bagasi tercatat dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- untuk setiap kilogram dan untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- untuk setiap penumpang. PT. Garuda Indonesia Airlines dalam hal ganti kerugian terhadap barang bagasi penumpang mengikuti ketentuan besarnya ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995. Hal ini seperti yang tertera dalam syarat-syarat perjanjian dalam negeri yang menyebutkan bahwa tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah setinggi-tingginya Rp. 100.000,- per kilogram.
Selain itu upaya yang dapat dilakukan dari Menteri Perhubungan RI adalah mengadakan sosialisasi tentang prosedur tanggung jawab ganti rugi, batas-batas pemberian ganti rugi serta informasi yang terkait mengenai penerbangan. Peraturan mengenai ganti rugi terkait bagasi yang mengalami kerusakan sudah diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sesuai dengan Pasal 144 bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
Penumpang dalam hal ini sebagai sebagai konsumen yang dirugikan, dapat mengupayakan untuk mencegah terjadinya hambatan yaitu penumpang harus memberikan keterangan identitas data dengan selengkap-lengkapnya, serta penumpang juga harus melengkapi form pengajuan ganti rugi yang dapat di minta kepada pihak maskapai. Selain memberikan informasi data diri, informasi mengenai waktu keberangkatan, kelas penumpang, rincian barang bawaan juga sangat penting mengenai proses ganti kerugian. Selain itu penumpang harus membuat laporan mengenai kerusakan bagasi dengan langsung menemui pihak maskapai PT. Garuda Indonesia Airlines dan menyatakan kerusakan bagasi. Penumpang juga harus mengurus klaim asuransi perjalanan, jika penumpang memilikinya. Hal ini akan mempermudah terhadap ganti rugi bagasi yang rusak. Asuransi perjalanan ini memberikan perlindungan terhadap bagasi yang mengalami kerusakan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu upaya hukum dengan mengajukan laporan ke pengadilan atau upaya hukum diluar pengadilan.

BAB V
PENUTUP

5.1       Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu :
1.      Bentuk tanggung jawab terhadap penumpang yang mengalami kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kerusakan bagasi saat terbang memiliki nilai kompensasi yang harus dibayarkan pihak maskapai kepada penumpang. Upaya Tanggung Jawab Pengusaha Angkutan Udara jika penumpang tidak mendapatkan pelayanan berupa keterlambatan jadwal dan tanggung jawab terhadap kerusakan dan kehilangan bagasi dalam angkutan udara. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung tanpa perantara pihak ketiga, negosiasi bersifat informal dan tidak berstruktur serta waktunya tidak tentu, efesiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya pada para pihak;
2.      Faktor penghambat dalam proses pemberian ganti rugi yaitu informasi data penumpang terkait ganti ruginya kurang lengkap khususnya bagi penumpang yang merupakan pendatang pada saat melakukan pelaporan kerusakan bagasi tercatat, informasi tempat tinggal yang dicantumkan adalah tempat tinggal menginap seperti di hotel, begitu juga dengan nomor telepon yang diberikan terkadang nomor telepon tersebut sulit dihubungi

3.       sehingga untuk diproses ganti bagasi yang rusak menjadi terhambat. Prosedur pelaksanaan bagasi dalam dunia penerbangan sudah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta standardisasi yang sama antara satu maskapai dengan maskapai lainnya. Prosedur disini maksudnya adalah tata cara, aturan, atau urutan proses pengiriman bagasi atau penerimaan bagasi dari stasiun keberangkatan sampai stasiun tujuan.

5.2       Saran
Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :
1.      Dalam melaksanakan proses pengangkutan khususnya dalam proses pengemasan bagasi. Untuk menghindari terjadinya kerusakan bagasi, pihak maskapai hendaknya lebih berhati-hati dalam pengemasan bagasi tersebut. Jika pihak maskapai dengan sengaja melakukan kerusakan pada bagasi tersebut, pihak maskapai tersebut akan diberikan sanksi yang tegas karena hal tersebut termasuk dalam tindak kriminal. Sedangkan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman penumpang sebelum melakukan penerbangan juga harus memeriksa bagasinya apakah memang sudah rusak dari awal atau belum, dan untuk penumpang dihimbau untuk melapisi bagasi dengan pembungkus tambahan;
2.      Sebaiknya dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pengangkutan, Kementrian Perhubungan melakukan sosialisasi mengenai prosedur pemberian ganti rugi, meberikan arahan, bimbingan,serta bantuan teknis kepada penumpang agar terhindar dengan adanya hambatan / kendala dalam proses pemberian ganti rugi agar dalam proses pemberian ganti rugi tersebut menjadi lebih cepat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut pihak maskapai lebih teliti dalam pengecekan identitas penumpang serta kelengkapan data- data milik penumpang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ahmadi Miru, 2017, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumendi Indonesia, Rajawali, Depok.

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Damardjati R.S, 2001, Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Husni Syawali dan Neni Srilmaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju Bandung.

Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata, Citra Aditya Bakti, Bandung.

H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, 2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1 tahun 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

H.K. Martono , 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Pepen Pendi, 2016, Kupas Tuntas Penerbangan, Deepublish, Yogyakarta.

Sakti Adji Adisasmita, 2012, Penerbangan dan Bandar Udara, Graha Ilmu, Surabaya.

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Suharto Abdul Majid, 2018, Grond Handling, Cet.3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suherman, 1962, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung.

Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, Mandar Maju.

_______     , 2005, Pengangkutan Kargo Udara, PT. Pustaka Bani Quraisy, Bandung.

Wahyu Sasongko, 2007.Hukum Perlindungan Konsumen. Universitas Lampung.

Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.


Jurnal Ilmiah :

Ridwan Khairandy, 2008, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta.

Saefullah Wiradipradja, E, 2006, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol.25, Jakarta.


Internet :

Annual Report PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, 2017. URL : https://www.garuda-indonesia.com/hk/en/investor-relations/annual-report-dan-sustainability-report/annual-report.page, diakses tanggal 7 Oktober 2018.

Anonim, 2017, Profil Perusahaan, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate-partners/company-profile/awards/index.page? Diakses tanggal 8 November 2018.

Anonim, 2018, https:  //www.garuda-indonesia.com/id/id/contact/customer-care-policy/baggage-irregulairity-claim.page, diakses tanggal 7 Oktober 2018.

Garuda Indonesia, Tentang Garuda Indonesia, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate- partners/company-profile/about/index.page?, di akses tanggal 7 November 2018.

Wikipedia, Dekade 1960-1970 Pekermbangan Signifikan dan Berekspansi, https://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia,diakses tanggal 26 November 2018.

Peraturan Perundang-Undangan :
Indonesia, Undang-Undang Tentang Penerbangan, Undang-Undang No 1 Tahun 2009, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.

Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara


[1]Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.  33
[2] Ridwan Khairandy, 2008, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal Hukum Bisnis Vol 25, Jakarta, hal. 20-21.
[3] E. Saefullah Wiradipradja, 2006, Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Vol.25, Jakarta, hal. 516.

[4]H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, 2011, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 tahun 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 54-55.

[5] Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal.38.
[6] Ridwan , 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 21.
[7] Husni Syawali dan  Neni Srilmaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju Bandung, hal. 7.

[8] Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 45
[9] Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67.
[10] H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, op.cit,  hal, 219.
[11] H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, loc.cit.
[12] H.K. Martono dan Ahmad Sudiro, op.cit, hal. 220.
[13] Sidharta, op.cit, hal. 3.

[14]Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.72.
[15]Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 54.
[16] Toto Tohir Suriaatmadja, 2005, Pengangkutan Kargo Udara, PT. Pustaka Bani Quraisy, Bandung, (Selanjutnya disingkat Toto Tohir Suriaatmadja I ),  hal. 17
[17] Toto Tohir Suriaatmadja, 2006, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, Mandar Maju, Bandung, (Selanjutnya disingkat Toto Tohir Suriaatmadja II ) hal. 24
[18] Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Lampung, hal. 97.

[19] R.S. Damardjati , 2001,  Istilah- Istilah Dunia Pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 6.
[20] Sakti Adji Adisasmita, 2012,  Penerbangan dan Bandar Udara, Graha Ilmu,  Yogyakarta, hal.10

[21] Mariam Darus Badrulzaman, 2015, Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 30.
[22] Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta, Ghal.ia Indonesia, hal. 29.
[23]  Toto Tohir Suriatmadja II, op.cit, hal. 114

[24] HS Salim, 2012, Hukum Kontrak Perjanjian Pinjaman dan Hibah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 28.
[25] Suharto Abdul Majid, 2018,  Ground Handling, Cet.3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 38.

[26] Pepen Pendi, 2016, Kupas Tuntas Penerbangan, Deepublish, Yogyakarta, hal. 110-111
[27] Ibid
[28] Ibid, hal. 110-112.

[29] Annual Report PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. 2017. URL : https://www.garuda-indonesia.com/hk/en/investor-relations/annual-report-dan-sustainability-report/annual-report.page, diakses tanggal 7 Oktober 2018.
[30] Anonim, 2017, Profil Perusahaan, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate-partners/company-profile/index.page diakses tanggal 20 Oktober 2018.
[31] Ibid.

[32] Wikipedia, Dekade 1960-1970 Pekermbangan Signifikan dan Berekspansi, https://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia, diakses tanggal 26 November 2018.
[33] Ibid.

[34]Garuda Indonesia, Tentang Garuda Indonesia, https://www.garuda-indonesia.com/id/id/corporate- partners/company-profile/about/index.page?, di akses tanggal 7 November 2018.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38]Ibid.

[39] Ibid.

[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42]Ahmadi Miru, 2017, Prinsip – prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, PT Rajawali, Jakarta, hal. 138.
[43] Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo. Jakarta,
hal. 72.

[44] H.K. Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 217
[45] Ibid,  hal. 223.
[46]Suherman, 1962, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung , hal. 3.

[47]Toto Tohir Suriaatmadja II, op.cit,  hal. 27
[48] H.K. Martono.op.cit,h.138.

No comments:

Post a Comment

PENGESTAWAN PEMANGKU PEMULA - TUNTUNAN PEMANGKU RING SEJERONING NGEMARGIANG DEWA YAJNA LAN BUTHA YADNYA

PENGESTAWAN PEMANGKU PEMULA - TUNTUNAN PEMANGKU RING SEJERONING NGEMARGIANG DEWA YAJNA LAN BUTHA YADNYA (Caru Ayam Brumbun) ...