Wednesday, June 19, 2019

SILA KRAMANING AGURON-GURON


SILA KRAMANING AGURON-GURON

 I.            Nama Lontar                      :    Tutur Bhuwana Mahbah
II.            Ukuran Lontar                    :    Panj.       :                       Leb      :
III.            Jumlah Lembaran               :    14 Lembar Lontar
IV.            Aksara/Tulisan Lontar        :    Aksara Bali
V.            Bahasa Lontar                    :    Bahasa Kawi Bali
VI.            Nama Pengarang                :    Dokumen Pusdok Bali               Tahun  : -
Teks aslinya ditulis oleh Ida Bagus Made Jelantik dari Griya Kecicang, Karangasem yang ditulis tahun 1907 saka, 1975 M.
VII.            Nama Penulis/penyalin       :    Tim Pusdok Bali
                                                Dra. I Gusti Ayu Rai Arnita     
                                                Drs. I Gede Sura
                                                Drs. I Wayan Dunia
                                                Drs. Ida Bagus Kade Sindu
                                                Drs. I Gusti Ketut Dalem
                                                Drs. I Wayan Sukayasa
VIII.            Asal Sumber Lontar           :    a.  Nama Rumah             : Griya Kecicang,
                                                                                         Karangasem


BAB I
TOPIK PEMBAHASAN

            Silakrama adalah salah satu naskah Jawa Kuna yang tidak ditilik secara cermat termasuk kelompok lontar-lontar ethika, lebih mengkhusus lagi ia termasuk ke dalam kelompok lontar sasana. Kenapa demikian ? Karena Lontar Silakrama ini berisi petunjuk-petunjuk atau nasihat-nasihat tentang bagaimana kewajiban dan tata krama seorang sisia (murid) dalam berguru (silakramaning aguron-guron). Sisia yang dimaksudkan disini adalah sisia kerohanian atau calon pendeta yang hendak menerjunkan diri dalam hidup keagamaan sebagai “prasraya”. Sehubungan dengan hal tersebut, Silakrama menjelaskan / menguraikan beberapa hal penting yang patut dipedomani oleh seorang calon pendeta, sebagai berikut :
1.            Seorang sisia harus bakti kepada guru (ajaran guru bhakti);
2.            Sisia harus selalu berpegang teguh pada kebenaran;
3.            Sisia tidak boleh iri hati, menyihir, menjalankan ilmu hitam;
4.            Ajaran Silakrama hendaknya betul-betul didalami karena dapat menghilangkan noda dan mengantar kepada pencapaian moksa.
5.            Gunakan bahwa dan bhusana sesuai dengan petunjuk (guru) dan jangan sekali-kali melanggar aturan penggunaan bahwa dan bhusana karena akan berakibat dosa dan dapat dihukum;
6.            Seorang sisia harus selalu dalam keadaan suci lahir dan batin;
7.            Seorang calon pendeta harus memperhatikan perihal makanan;
8.            Seorang sisia/calon pendeta harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam mendirikan dukuh, patapan atau pasraman;
9.            Jauhkan diri dari segala perbuatan jelek usahakan perbuatan baik untuk kerahayuan masyarakat;
10.        Di dalam menuntut ilmu, seorang calon sisia harus selektif di dalam mencari guru;
11.        Teringat selalu pada perilaku yang benar, ucapan yang benar dan pikiran yang tidak terkotori (Sanghyang Trikaya Parisudha) yang dapat mengantar pada kerahayuan;
12.        Upayakan pengendalian indria dan arahkan pada yang baik untuk membebaskan diri dari belenggu indria.


BAB II
ISI LONTAR
Terjemahan Alih Bahasa
Om, semoga tidak ada rintangan.
Inilah tata krama berguru. Janganlah engkau yang menuntut ilmu tidak bakti kepada guru, jangan ragu-ragu, jangan memakai guru, jangan tidak jujur, janganlah tidak sungguh-sungguh setia, janganlah menginjak bayangan guru pada tempat mencuci muka, jangan menolak perintah guru, jangan memerintah guru, jangan duduk di tempat duduk guru, jangan merebahkan diri dihadapan guru, jangan memotong pembicaraan guru, bila bertemu guru jangan menatapnya. Bila guru sedang berdiri atau berjalan maka menghormatlah. Jangan menentang perintah guru, begitu juga terhadap istri guru, sangatlah celakanya, jangan berkata sambil membelakangi (guru), (atau) sambil berjalan. Begitu pula putra putri guru patut dihormati. Itulah sebabnya ada yang disebut guru putra dan guru putri, diteruskan oleh orang yang bijaksana kepada orang yang sedang m enuntut ilmu pada guru putra dan guru putri. Jika murid duduk (di atas?) janganlah guru putra dan guru putri diijinkah berdiri di halaman. Kalau (guru putra dan guru putri) duduk janganlah diberikan duduk di belakangamu.  (Tetapi)  dibelakangi oleh orang lain boleh. Tidak boleh memberikan makanan dan sisa (makanan) kepada guru putra dan guru putri, dan lagi seorang murid tidak dibolehkan menendang (guru putra dan guru putri). Jangan mencuri dan menggelapkan (milik guru), karena hal ini lebih banyak akan mengantar orang pada dosa, sedangkan sedikit yang mengantar orang pada kebaikan. Bila siswa tidak hormat kepada orang banyak, oleh karena tidak tahu, itulah dosa (wiku) yang tersesat. Wiku demikian disebut "wikayanilibakenrat (wiku yang mencurangi masyarakat), sudah tentu badannya akan m engalami penderitaan besar. Ada wiku yang berhati jahat (mengurusuk), pekerja annya mengajarkan  ilmu pengetahuan  dan dharma pada suatu tempat yang dilewati,  (maksudnya)  adalah agar masyarakat mempersembahkan sesuatu kepadanya, (hal seperti ini sama ) dengan mengambil milik orang lain, dosa dari perbuatannya tidak dapat dilihat, mengambil makanan dan ia sangat senang sekali bila dihormati oleh masyarakat,  memanas­manasi, mengampuni dan memperdaya orang bodoh, memukul dengan bukan main (kerasnya), bila demikian maka dosalah yang akan ditemukan. Prilaku demikian adalah tidak layak bagi seorang siswa, karena prilaku demikian amat besarlah dosanya.
Beginilah sepatutnya hubungan guru dengan siswa (Sisia) harus memegang teguh kebenaran, tidak menolak perintah guru. Apabila, menyimpang maka guru akan (turut ) berdosa. Guru mengajarkan yang benar tetapi murid tidak berpegang kepada yang benar dan menolak perintah (guru). Murid yang demikian sangat besarlah dosanya, (demikian pula dosa gurunya) karena sama antara yang menerima dengan yang memberi, (baik) rupa. Dosa dan sorganya sama. Bila guru memakai siswanya dengan tidak senonoh, sedangkan berpegang teguh pada kebenaran (tidak bersalah), maka berdosalah guru yang demikian. Bila siswa ada kekeliruan dalam menuntut ilmu, patutlah sang guru memperingatkan sisia tersebut. (Kemarahan guru tersebut) seperti halnya batu kering kejatuhan air, airnya akan segera mengering lagi, demikianlah umpamanya kemarahan guru kepada sisia. Ada kesalahan yang hukumannya demikian hanya boleh "dikembangkan" (dipecat) saja oleh sang guru, dan sanak saudaranya tidak dapat menasehatinya, maka sangatbesarlah dosa sisia yang demikian.
Ada orang berhutang sesajen kepada pendeta, ia sendiri menikmati persembahan itu, maka harus dikembalikan berlipat ganda. Bila berhutang persembahan kepada sesama "walaka" maka "ayaban" (persembahan sajen) pula sebagai pengembaliannya.
Orang yang sedang menuntut ilmu apabila dengki kepada sisia (lain), membantu menyihir, menjalankan ilmu hitam menyakiti, sudah tentu akan menjadi dasar neraka orang yang hina itu.
Inilah silakrama, ajaran yang sangat sulit. Meskipun kurang dipahami, akan tetap bila diikuti segala ajaran silakrama (tersebut) maka akan memperoleh kesuksesan. Apabila ingin mengetahui inti ajaran ini, jangalah mengelabui ajaran silakrama ini, sama seperti riwayat orang-orang hina itu.
Bila ingin mendalami inti ajaran yang diajarkan ini, pertama­tama harus dikuti ajaran silakrama ini, (jika demikian) pasti akan dapat menghilangkan papa dirinya. Hal ini sangat mulia, karena pengabdi dharma tidak pernah menolak perintah guru, meskipun disuruh masuk oleh guru ke dalam kobaran api, ke dalam samudra atau jurang yang sangat berbahaya. Meskipun juga disuruh masuk ke dalam sarang harimau atau ke mulut naga tidak takutlah sang pengabdi dharma.
Bila sudah perintah guru patut dilaksanakan, meskipun tugas itu cukup berbahaya. Sepatutnya itu tidak dipikirkan oleh si penuntut ilmu (pengabdi dharma). Memang demikianlah sepatutnya. Bila demikian, badan si penuntut ilmu itu akan mencapai moksa meskipun ia tidak mengetahui hakikat ajaran itu.
Ada orang memakai bawa (gelung pendeta), segala bentuk bawa, guru yang memberikan bawa kepada (sisia ) yang belum berhak memakai bawa, semestinya (guru) tidak boleh memberikan bawa kepada murid (yang belum berhak memakai bawa). Sebab sama dosanya antara orang yang memberi bawa dengan orang yang menggunakan bawa.
Demikian pula ada orang menggunakan bawa, tidak ada yang memberikan (menginjinkan), mengatakan diri seorang pendeta, orang yang demikian sangat besar dosanya, sebab hanya sang pendetalah yang berhak sebagai pendetanya masyarakat.
Ada pendeta suami istri, yang perempuan memakai "bawa daluwang", yang laki memakai "jata mundia". Yang laki berpakaian hitam menggunakan "bawa daluwang'', sedangkan  yang  perempuan menggunakan "jata amundi". Itulah yang disebut "welang-weling" (berselang-seling): Pendeta demikian akan didenda 4000, dan badannya akan mendapat siksa.
Pendeta laki-laki mengawini walaka, begitu juga sebaliknya pendeta perempuan bersuamikan walaka disebut "daluwang anemu sigi". Patut didenda 8.000 dan badannya patut mendapat siksa. Inilah silakrama yang (harus) diikuti oleh sang pendeta.
Inilah ucapan orang bijaksana prihal nama dan pemberian nama sorang siswa. Nama itu diberikan bukan karena atas dasar senang saja, sebab nama itu tidak bisa lepas dari orangnya. (Karena itu tidak bisa) hanya dengan mungkin atau barangkali saja (mirib) sebagai umpama seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, lalu dibuatkan nama oleh ayah ibunya. Saudara dua dapat (boleh) memberi nama adiknya. (ini berarti) seorang saudara yang lebih tua dapat mem berikan nama kepada saudaranya yang lebih muda. Demikianlah perihal tingkah laku orang bersaudara, (yang tua) dapat memberikan "lalayangan" (layang-layang kepada  adiknya yang lebih muda). Demikianlah umpamanya dalam memberi nama. Apakah yang dimaksud dengan bawa? (Bawa) adalah semua jenis pakaian yang meliputi : ketu agung (mahkota kebesaran pendeta), apopol, akeketon, ababaron, memakai destar, memakai ikat kepala, amumutut, amundi, aketu, jiata,  aketu ganit, agimbal (rambut digembal), terurai, memakai badong, aburarak, anyamara, amalaka, ameting, amrebu, anyedong, ambolot, akuris, itulah yang disebut bawa.
Yang disebut busana antara lain : sampet, ganitri, bairu, gund ala, gudoa, hiasan leher (kantabrana), hiasan telinga anting-anting, amakuta berselempang, memakai hiasan dari emas dan permata, dan kain, ikat pinggang, ujung kain dijuntai (lancingan), anyelot, ampek-ampek, amuda. Kesemuanya itu adalah bawa dan pula busana. Kenapa demikian? Karena tidak ada orang yang mulai mempersiapkan diri untuk belajar sudah dapat melepaskan diri dan mem bebaskan diri dari apa yang disebut bawa dan busana, sekalipun ia dihias siang dan malam, kuku dan giginya dibersihkan sampai bersih, kemudian muka dan badan dibedaki, diamplasi seluruhnya, terlebih lagi promosi seluruh badanmu, sehingga menjadi bersih luar dan dalam. Maka akan jadi enaklah jika bersih. Bersihkanlah dulu yang didalam, (jika itu sudah bersih), maka membersihkan yang di luar gampang. Barangkali yang didalam (masih) kotor, m aka itu bersihkanlah yang di d alam lebih dahulu. Apabila yang di dalam sudah bersih, maka engkau akan dapat rnembersihkan (yang di luar) secara perlahan-lahan. Demikianlah prihal bawa pada orang yang bijaksana yang sama caranya dalam memelihara badan dan prilaku, terlebih lagi jika kamu dapat mengikuti prilaku orang bijaksana jaman dahulu.
Demikian pula halnya cara membangun asrama, dukuh, pertapaan, (tetapi) tidak ada asrama, dukuh dan pertapaan yang dapat menyucikan (membersihkan) badan, apakah dukuh itu bertempat di puncak gunung, lambung gunung, di tegalan, di tempat hutan, di gua batu, di laut, pada jurang.
Jika engkau ingin membangun asrama,  dukuh  dan  pertapaan, barangkali hutan yang telah dibanguni pedukuhan, janganlah berbuat demikian, sebab tanah (pedukuhan) itu telah disucikan oleh pemilik pedukuhan terdahulu, (karena itu) dapat (saja) dibanguni pedukuhan. Apabila (pedukuhan tersebut) telah kosong selama 25 tahun, (maka) pada tahun yang ke 22 sudah boleh dibanguni asrama.
Demikianlah nasehat guru bahwa (orang) yang lepas dari nama, bawa, busana, apalagi dengan dukuh. Kesemuanya itu tidak akan dapat (membersihkan). Kenapa demikian? Karena kekuatan (jayana) harus dibenarkan oleh bud , ( budi ) dibenarkan oleh hati (ambek), tingkah laku dan perbuatan (lampah) dibenarkan oleh pengetahuan ya ng benar. Itulah yang dapat membebaskan engkau dari sini. Mudah diucapkan, sukar dilaksanakan.
Kenapa demikian? Oleh karena budi itu tidak kekal, hati tidak pasti, ucapan tidak jujur, mencela semua yang bisa berjalan, merebut ternpat orang, dosanya tidak dilihat, sangat senang hatinya jika dihormati oleh orang banyak. Sebab semua itu bisa terjadi, seperti orang melakukan perjalanan, siapa yang banyak bekalnya, banyak pembantunya, punya kendaraan lagi cekatan, lalu ketemu seorang (perempuan) di jalan, akhirnya tersesat langkahnya, maka akan sulitlah ia sampai ke tempat tujuan.
Demikianlah umpamanya dalam melakukan perjalanan (sarira lumampah) janganlah kurang waspada, jangan kurang hati-hati, janganlah gila-gilaan, janganlah tidak mengasihi sebab suka duka selalu datang silih berganti, janganlah tidak mendengarkan nasehat, janganlah berharap ada, janganlah mengumbar keinginan, jangan tenggelam dalam cinta, hendaknya berani merendah dalam berkata, hendaknya berani mengalah dalam hal apapun, hendaknya berani kehilangan, hendaknya siap untuk mengorbankan jiwa , budi harus lurus, hati harus terbuka, itulah yang disebut tapa.
Bertapa sambil rnakan dapat dilaksanakan, namun harus sadar apa yang diperbuat, dan tidak melibatkan diri pada perbuatan jelek, tidak berperangai iri hati, tidak goyah, tidak mernbela penjahat, tidak mendatangi penjahat, tidak mengingkari, sadu, tidak melibatkan diri dalarn kekacauan. Yang benar saja yang patut dilakukan oleh bad an. Usahakanlah kerahayuan masyarakat seluruhnya, berpegang teguh pada kebenaran dan perilaku yang baik, itulah yang disebut tapa sesuai dengan Silakrama.
Di dalam mencari kebenaran, hendaknya dicari pada keluarga atau orang ya ng betul-betul tahu atau guru yang sesungguhnya yang sempurna prilakunya. Yang tidak dapat dijadikan guru antara lain : buta  huruf,  cacad  tubuh,  impoten,  sebabnya  tidak  patut (dijadikaii guru), karena lahir dari neraka . Demikian menurut agama orang yang demikian

Tidak layak dijadikan guru
Inilah Sanghyang Trikayaparisudha, tiga perinciannya antara lain sebagai perwujudan Sanghyang Dharma, tidak akan menjadikan berdosa bila orang tidak menggunakan orang tua sebagai guru. (Demikian juga) sanak saudaramu seluruhnya dan juga engkau tidak akan kena penderitaan, siksa. Sebab seperti halnya emas dan permata Sanghyang Dharma Upadesa, karena ia adalah permatanya busana.
Manakah yang dianggap emas (mastatur) (tidak lain adalah) prilaku, ucapan yang baik, pikiran yang.tenang dan bersih cemerlang yang mana itu adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Ingat pada prilaku yang benar, ucapan yang benar, pikiran yang tidak ternodai oleh kekotoran, kesemuanya itu lahir dari kesucian Sanghyang Dharma. Bila demikian, itu bagaikan nasi (maiwak tan pagogo), dihorrnati oleh orang sesamanya.
Itu tidak lagi diucapkan semuanya. Apalagi tentang kemuliaan. Kesemuanya akan engkau peroleh, karenanya perhatikanlah Sanghyang Trikayaparisudha. Kenapa orang yang menuntut ilmu harus demikian kata sang pendeta, karena ia adalah tempat untuk menanyakan yang baik dan yang buruk, kata-kata yang tak patut adalah kata­kata yang jelek, kata-kata yang baik adalah ucapan yang menyenangkan. Demikian dengarkanlah olehmu, anakku.
Kemudian ada yang disebut Sanghyang Dasasila yang merupakan tempat untuk mempertanyakan baik buruknya prilaku, ucapan dan pikiran. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut : srota, grana, pani, pada, payu, pasta, tuak . Demikianlah kedua puluh satu itu masing-masing mempunyai fungsi. Bagaimana perincian fungsi masing-masing maka dengarkanlah dengan baik-baik penjelasan berikut.
Caksuindriya adalah mata, fungsinya untuk melihat yang baik atau buruk. Biasanya orang senang melihat yang baik dan tidak senang jika melihat yang tidak baik.
Itulah yang menyebabkan kamu mengucapkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Sebagai prilaku "makaladesa" yang memikirkan yang tidak menyenangkan pikiran karena tidak tahu akan baik dan buruk, karenanya janganlah demikian, lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, ingatlah engkau pada nasihatku, maka akan sirnalah keinginanmu pada hal-hal baik atau buruk. Carilah percik kecil dari keburukan yang ada pada pikiran, ingatlah akan ucapan yang manis sebagai upayamu menjaga keinginan yang datang dari mata.
Srotendriya adalah telinga, fungsinya adalah untuk mendengarkan kata- kata yang halus atau keras, karenanya (maka) orang tidak senang pada makian, sumpah, jangan marah. Bila engkau dimaki, engkau jangan membalas, lihat dan jangan engkau membalas, maka engkau akan menjadi bersih. Kesimpulannya, ingatlah keutamaan dari Sanghyang Trikayaparisudha. Engkau harus teringat pula pada nasehatku, maka akan sirnalah kemarahanmu bila mendengar kata-kata yang baik, maka keinginan akan menjadi semakin mengecil karena ingat kata-kata yang manis. Demikianlah u paya mu untuk mengendalikan keinginan yang datang dari telinga.
Granendriya adalah hidung, fungsinya untuk mencium bau yang busuk atau harum. Pikiran akan senang bila mencium bau wangi, akan tidak senang bila mencium bau  yang busuk.  Hendaknya janganlah demikian, perhatikanlah keutamaan Sanghyang Trikayaparisudha. Apabila engkau ingat akan nasehatku, maka akan hilanglah keinginanmu pada bau yang harum, demikian pula bencimu kepada  bau  busuk.  Maka pikiran akan menjadi semakin kecil (karena) ingat pada kata-kata manis.
Demikianlah usahamu untuk menjaga keinginan yang muncul dari hidung.
Wakindriya adalah mulut, fungsinya adalah untuk berkata-kata. Ini patut betul-betul dikendalikan. Apabila orang tidak tahu menjaga mulutnya, kata-katanya akan tidak terkontrol (salah), sebaliknya berkatalah yang benar. Kesimpulannya, perhatikanlah kemuliaan Sanghyang Trikayaparisudha. Dan jika engkau ingat pada nasehatku, maka tidak akan ada kata-kata bohong (darimu), maka akan menjadi kecillah tendensi dari kata-kata itu, dan kata-kata manis saja yang akan diucapkan. Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang keluar dari mulut.
Jihwendriya adalah lidah, fungsinya untuk merasakan yang enak dan yang tidak enak. Engkau akan senang jika makan makanan yang enak, itu sebabnya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak enak, berpikir yang- tidak menyenangkan.
Janganlah engkau berprilaku "makaladesa'', lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan  apabila engkau ingat pada nasehatku, maka akan sirnalah kata-kata yang tidak baik itu, sebaliknya akah keluarlah kata-kata lembut lagi manis. Demikianlah hendaknya engkau menjaga keinginan yang keluar dari lidah.
Panindriya adalah tangan, fungsinya menepuk, menepis, menuding, juga untuk membelai perempuan di jalan, di hutan, di kebun, di pesanggrahan, di tempat tidur, baik (perempuan) rendahan, sedang maupun yang utama. Denda yang dikenakan terhadap orang yang mengambil perempuan yang sudah bersuami adalah hukuman mati sebagai ganjarannya. Maka tahulah engkau jika demikian, engkau ibarat   menikmati penderitaan, karena itu upayakanlah (Sanghyang Trikayaparisudha). Padendriya adalah kaki, fungsinya untuk menerjang, akilusu angratakaken. Janganlah engkau demikian, jika duduk dalam kumpulan orang banyak. Bila dalam keadaan tidak enak (kakimu) lalu engkau hendak meluruskan kaki karena terasa kaku dan engkau merasa tidak enak bila merubah posisi kaki, (bila engkau hendak merubah posisi kaki) maka sebaiknya engkau menyampaikan kepada semua orang (yang ada di sekitarnya) sebagai suatu perbuatan yang sangat baik. (Hal ini perlu) untuk menjaga keinginanan yang datang dari kaki.
Paywindriya adalah anus, fungsinya untuk pletus, buang air besar. Janganlah engkau pletus di tempat berkumpulnya orang banyak, apalagi pada saat mendapat pelajaran dari sang guru. Jangan buang air besar di dekat jalan, bila tercium oleh orang yang lewat maka akan memakilah ia, maka kakek, nenek, ayah, ibu akan menjadi kesakitan oleh perbuatanmu itu. Itulah yang akan menjadikan engkau teramat miskin, sebiji nasi dan sebutir garampun akan sulit didapatkan karena (akibat) kutukan kakek dan nenek (mu). Karenanya upayakanlah pengendalian keinginan yang datangnya dari anus.  
Pastendriya adalah venis dan vagina, fungsinya untuk kencing, amelecing, mengambil perempuan lain, apalagi tanpa sepengetahuan orang banyak. Demikianlah sepatutnya kaum usahakan pengendalian keinginan yang datangnya dari venis dan vagina.
Walcindriya adalah kulit, fungsinya untuk menggunakan pakaian yang kasar atau yang halus. (Yang halus) enak digunakan, lembut seperti wanita cantik, panas dan dingin.
Senang bila merasakan yang kasar dan dingin, akan menyebabkan keluar kata-kata yang tidak enak di dengar, sebagai akibat ketamakan pikiranmu. Itu sebabnya engkau berpikir "makaladesa", ini disebabkan oleh karena pikiramnu selalu terpaut pada setiap yang lembut, panas atau dingin.
Hendaknya engkau jangan demikian. Lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau teringat pada nasehatku maka akan kecillah pikiranmu yang seperti itu, sehingga menjadi teringat pada kata-kata yang manis.
Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang timbul dari kulit.

No comments:

Post a Comment

PENGESTAWAN PEMANGKU PEMULA - TUNTUNAN PEMANGKU RING SEJERONING NGEMARGIANG DEWA YAJNA LAN BUTHA YADNYA

PENGESTAWAN PEMANGKU PEMULA - TUNTUNAN PEMANGKU RING SEJERONING NGEMARGIANG DEWA YAJNA LAN BUTHA YADNYA (Caru Ayam Brumbun) ...