SILA
KRAMANING AGURON-GURON
I.
Nama Lontar : Tutur
Bhuwana Mahbah
II.
Ukuran Lontar : Panj. : Leb :
III.
Jumlah Lembaran : 14 Lembar
Lontar
IV.
Aksara/Tulisan Lontar : Aksara
Bali
V.
Bahasa Lontar : Bahasa
Kawi Bali
VI.
Nama Pengarang : Dokumen
Pusdok Bali Tahun : -
Teks
aslinya ditulis oleh Ida Bagus Made Jelantik dari Griya Kecicang, Karangasem
yang ditulis tahun 1907 saka, 1975 M.
VII.
Nama Penulis/penyalin : Tim
Pusdok Bali
Dra. I Gusti Ayu Rai
Arnita
Drs. I Gede Sura
Drs. I Wayan Dunia
Drs. Ida Bagus Kade
Sindu
Drs. I Gusti Ketut
Dalem
Drs. I Wayan Sukayasa
VIII.
Asal Sumber Lontar : a. Nama Rumah :
Griya Kecicang,
Karangasem
BAB
I
TOPIK PEMBAHASAN
Silakrama
adalah salah satu naskah Jawa Kuna yang tidak ditilik secara cermat termasuk
kelompok lontar-lontar ethika, lebih mengkhusus lagi ia termasuk ke dalam
kelompok lontar sasana. Kenapa demikian ? Karena Lontar Silakrama ini berisi
petunjuk-petunjuk atau nasihat-nasihat tentang bagaimana kewajiban dan tata
krama seorang sisia (murid) dalam berguru (silakramaning aguron-guron). Sisia
yang dimaksudkan disini adalah sisia kerohanian atau calon pendeta yang hendak
menerjunkan diri dalam hidup keagamaan sebagai “prasraya”. Sehubungan dengan
hal tersebut, Silakrama menjelaskan / menguraikan beberapa hal penting yang
patut dipedomani oleh seorang calon pendeta, sebagai berikut :
1.
Seorang sisia harus bakti kepada guru
(ajaran guru bhakti);
2.
Sisia harus selalu berpegang teguh pada
kebenaran;
3.
Sisia tidak boleh iri hati, menyihir,
menjalankan ilmu hitam;
4.
Ajaran Silakrama hendaknya betul-betul
didalami karena dapat menghilangkan noda dan mengantar kepada pencapaian moksa.
5.
Gunakan bahwa dan bhusana sesuai dengan
petunjuk (guru) dan jangan sekali-kali melanggar aturan penggunaan bahwa dan
bhusana karena akan berakibat dosa dan dapat dihukum;
6.
Seorang sisia harus selalu dalam keadaan
suci lahir dan batin;
7.
Seorang calon pendeta harus
memperhatikan perihal makanan;
8.
Seorang sisia/calon pendeta harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam mendirikan dukuh, patapan atau
pasraman;
9.
Jauhkan diri dari segala perbuatan jelek
usahakan perbuatan baik untuk kerahayuan masyarakat;
10.
Di dalam menuntut ilmu, seorang calon
sisia harus selektif di dalam mencari guru;
11.
Teringat selalu pada perilaku yang
benar, ucapan yang benar dan pikiran yang tidak terkotori (Sanghyang Trikaya
Parisudha) yang dapat mengantar pada kerahayuan;
12.
Upayakan pengendalian indria dan arahkan
pada yang baik untuk membebaskan diri dari belenggu indria.
BAB
II
ISI
LONTAR
Terjemahan
Alih Bahasa
Om, semoga tidak ada rintangan.
Inilah tata krama berguru. Janganlah
engkau yang menuntut ilmu tidak bakti kepada guru, jangan ragu-ragu, jangan
memakai guru, jangan tidak jujur, janganlah tidak sungguh-sungguh setia, janganlah
menginjak bayangan guru pada tempat mencuci muka, jangan menolak perintah guru,
jangan memerintah guru, jangan duduk di tempat duduk guru, jangan merebahkan
diri dihadapan guru, jangan memotong pembicaraan guru, bila bertemu guru jangan
menatapnya. Bila guru sedang berdiri atau berjalan maka menghormatlah. Jangan
menentang perintah guru, begitu juga terhadap istri guru, sangatlah celakanya,
jangan berkata sambil membelakangi (guru), (atau) sambil berjalan. Begitu pula
putra putri guru patut dihormati. Itulah sebabnya ada yang disebut guru putra
dan guru putri, diteruskan oleh orang yang bijaksana kepada orang yang sedang m
enuntut ilmu pada guru putra dan guru putri. Jika murid duduk (di atas?)
janganlah guru putra dan guru putri diijinkah berdiri di halaman. Kalau (guru
putra dan guru putri) duduk janganlah diberikan duduk di belakangamu. (Tetapi)
dibelakangi oleh orang lain boleh. Tidak boleh memberikan makanan dan
sisa (makanan) kepada guru putra dan guru putri, dan lagi seorang murid tidak
dibolehkan menendang (guru putra dan guru putri). Jangan mencuri dan
menggelapkan (milik guru), karena hal ini lebih banyak akan mengantar orang
pada dosa, sedangkan sedikit yang mengantar orang pada kebaikan. Bila siswa
tidak hormat kepada orang banyak, oleh karena tidak tahu, itulah dosa (wiku)
yang tersesat. Wiku demikian disebut "wikayanilibakenrat (wiku yang
mencurangi masyarakat), sudah tentu badannya akan m engalami penderitaan besar.
Ada wiku yang berhati jahat (mengurusuk), pekerja annya mengajarkan ilmu pengetahuan dan dharma pada suatu tempat yang
dilewati, (maksudnya) adalah agar masyarakat mempersembahkan sesuatu
kepadanya, (hal seperti ini sama ) dengan mengambil milik orang lain, dosa dari
perbuatannya tidak dapat dilihat, mengambil makanan dan ia sangat senang sekali
bila dihormati oleh masyarakat, memanasmanasi,
mengampuni dan memperdaya orang bodoh, memukul dengan bukan main (kerasnya),
bila demikian maka dosalah yang akan ditemukan. Prilaku demikian adalah tidak
layak bagi seorang siswa, karena prilaku demikian amat besarlah dosanya.
Beginilah sepatutnya hubungan guru
dengan siswa (Sisia) harus memegang teguh kebenaran, tidak menolak perintah
guru. Apabila, menyimpang maka guru akan (turut ) berdosa. Guru mengajarkan yang
benar tetapi murid tidak berpegang kepada yang benar dan menolak perintah
(guru). Murid yang demikian sangat besarlah dosanya, (demikian pula dosa
gurunya) karena sama antara yang menerima dengan yang memberi, (baik) rupa.
Dosa dan sorganya sama. Bila guru memakai siswanya dengan tidak senonoh,
sedangkan berpegang teguh pada kebenaran (tidak bersalah), maka berdosalah guru
yang demikian. Bila siswa ada kekeliruan dalam menuntut ilmu, patutlah sang
guru memperingatkan sisia tersebut. (Kemarahan guru tersebut) seperti halnya
batu kering kejatuhan air, airnya akan segera mengering lagi, demikianlah
umpamanya kemarahan guru kepada sisia. Ada kesalahan yang hukumannya demikian
hanya boleh "dikembangkan" (dipecat) saja oleh sang guru, dan sanak
saudaranya tidak dapat menasehatinya, maka sangatbesarlah dosa sisia yang
demikian.
Ada orang berhutang sesajen kepada
pendeta, ia sendiri menikmati persembahan itu, maka harus dikembalikan berlipat
ganda. Bila berhutang persembahan kepada sesama "walaka" maka
"ayaban" (persembahan sajen) pula sebagai pengembaliannya.
Orang yang sedang menuntut ilmu apabila dengki
kepada sisia (lain), membantu menyihir, menjalankan ilmu hitam menyakiti, sudah
tentu akan menjadi dasar neraka orang yang hina itu.
Inilah silakrama, ajaran yang sangat
sulit. Meskipun kurang dipahami, akan tetap bila diikuti segala ajaran
silakrama (tersebut) maka akan memperoleh kesuksesan. Apabila ingin mengetahui
inti ajaran ini, jangalah mengelabui ajaran silakrama ini, sama seperti riwayat
orang-orang hina itu.
Bila ingin mendalami inti ajaran yang
diajarkan ini, pertamatama harus dikuti ajaran silakrama ini, (jika demikian)
pasti akan dapat menghilangkan papa dirinya. Hal ini sangat mulia, karena
pengabdi dharma tidak pernah menolak perintah guru, meskipun disuruh masuk oleh
guru ke dalam kobaran api, ke dalam samudra atau jurang yang sangat berbahaya.
Meskipun juga disuruh masuk ke dalam sarang harimau atau ke mulut naga tidak
takutlah sang pengabdi dharma.
Bila sudah perintah guru patut
dilaksanakan, meskipun tugas itu cukup berbahaya. Sepatutnya itu tidak
dipikirkan oleh si penuntut ilmu (pengabdi dharma). Memang demikianlah sepatutnya.
Bila demikian, badan si penuntut ilmu itu akan mencapai moksa meskipun ia tidak
mengetahui hakikat ajaran itu.
Ada orang memakai bawa (gelung pendeta),
segala bentuk bawa, guru yang memberikan bawa kepada (sisia ) yang belum berhak
memakai bawa, semestinya (guru) tidak boleh memberikan bawa kepada murid (yang
belum berhak memakai bawa). Sebab sama dosanya antara orang yang memberi bawa
dengan orang yang menggunakan bawa.
Demikian pula ada orang menggunakan
bawa, tidak ada yang memberikan (menginjinkan), mengatakan diri seorang
pendeta, orang yang demikian sangat besar dosanya, sebab hanya sang pendetalah yang
berhak sebagai pendetanya masyarakat.
Ada pendeta suami istri, yang perempuan
memakai "bawa daluwang", yang laki memakai "jata mundia".
Yang laki berpakaian hitam menggunakan "bawa daluwang'', sedangkan yang
perempuan menggunakan "jata amundi". Itulah yang disebut
"welang-weling" (berselang-seling): Pendeta demikian akan didenda
4000, dan badannya akan mendapat siksa.
Pendeta laki-laki mengawini walaka,
begitu juga sebaliknya pendeta perempuan bersuamikan walaka disebut
"daluwang anemu sigi". Patut didenda 8.000 dan badannya patut
mendapat siksa. Inilah silakrama yang (harus) diikuti oleh sang pendeta.
Inilah ucapan orang bijaksana prihal
nama dan pemberian nama sorang siswa. Nama itu diberikan bukan karena atas
dasar senang saja, sebab nama itu tidak bisa lepas dari orangnya. (Karena itu
tidak bisa) hanya dengan mungkin atau barangkali saja (mirib) sebagai umpama
seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, lalu dibuatkan nama oleh ayah
ibunya. Saudara dua dapat (boleh) memberi nama adiknya. (ini berarti) seorang
saudara yang lebih tua dapat mem berikan nama kepada saudaranya yang lebih
muda. Demikianlah perihal tingkah laku orang bersaudara, (yang tua) dapat memberikan
"lalayangan" (layang-layang kepada
adiknya yang lebih muda). Demikianlah umpamanya dalam memberi nama.
Apakah yang dimaksud dengan bawa? (Bawa) adalah semua jenis pakaian yang
meliputi : ketu agung (mahkota kebesaran pendeta), apopol, akeketon, ababaron,
memakai destar, memakai ikat kepala, amumutut, amundi, aketu, jiata, aketu ganit, agimbal (rambut digembal),
terurai, memakai badong, aburarak, anyamara, amalaka, ameting, amrebu,
anyedong, ambolot, akuris, itulah yang disebut bawa.
Yang disebut busana antara lain :
sampet, ganitri, bairu, gund ala, gudoa, hiasan leher (kantabrana), hiasan
telinga anting-anting, amakuta berselempang, memakai hiasan dari emas dan
permata, dan kain, ikat pinggang, ujung kain dijuntai (lancingan), anyelot,
ampek-ampek, amuda. Kesemuanya itu adalah bawa dan pula busana. Kenapa
demikian? Karena tidak ada orang yang mulai mempersiapkan diri untuk belajar
sudah dapat melepaskan diri dan mem bebaskan diri dari apa yang disebut bawa
dan busana, sekalipun ia dihias siang dan malam, kuku dan giginya dibersihkan
sampai bersih, kemudian muka dan badan dibedaki, diamplasi seluruhnya, terlebih
lagi promosi seluruh badanmu, sehingga menjadi bersih luar dan dalam. Maka akan
jadi enaklah jika bersih. Bersihkanlah dulu yang didalam, (jika itu sudah
bersih), maka membersihkan yang di luar gampang. Barangkali yang didalam
(masih) kotor, m aka itu bersihkanlah yang di d alam lebih dahulu. Apabila yang
di dalam sudah bersih, maka engkau akan dapat rnembersihkan (yang di luar)
secara perlahan-lahan. Demikianlah prihal bawa pada orang yang bijaksana yang
sama caranya dalam memelihara badan dan prilaku, terlebih lagi jika kamu dapat
mengikuti prilaku orang bijaksana jaman dahulu.
Demikian pula halnya cara membangun
asrama, dukuh, pertapaan, (tetapi) tidak ada asrama, dukuh dan pertapaan yang
dapat menyucikan (membersihkan) badan, apakah dukuh itu bertempat di puncak
gunung, lambung gunung, di tegalan, di tempat hutan, di gua batu, di laut, pada
jurang.
Jika engkau ingin membangun asrama, dukuh
dan pertapaan, barangkali hutan
yang telah dibanguni pedukuhan, janganlah berbuat demikian, sebab tanah (pedukuhan)
itu telah disucikan oleh pemilik pedukuhan terdahulu, (karena itu) dapat (saja)
dibanguni pedukuhan. Apabila (pedukuhan tersebut) telah kosong selama 25 tahun,
(maka) pada tahun yang ke 22 sudah boleh dibanguni asrama.
Demikianlah nasehat guru bahwa (orang)
yang lepas dari nama, bawa, busana, apalagi dengan dukuh. Kesemuanya itu tidak
akan dapat (membersihkan). Kenapa demikian? Karena kekuatan (jayana) harus
dibenarkan oleh bud , ( budi ) dibenarkan oleh hati (ambek), tingkah laku dan
perbuatan (lampah) dibenarkan oleh pengetahuan ya ng benar. Itulah yang dapat
membebaskan engkau dari sini. Mudah diucapkan, sukar dilaksanakan.
Kenapa demikian? Oleh karena budi itu
tidak kekal, hati tidak pasti, ucapan tidak jujur, mencela semua yang bisa berjalan,
merebut ternpat orang, dosanya tidak dilihat, sangat senang hatinya jika dihormati
oleh orang banyak. Sebab semua itu bisa terjadi, seperti orang melakukan
perjalanan, siapa yang banyak bekalnya, banyak pembantunya, punya kendaraan
lagi cekatan, lalu ketemu seorang (perempuan) di jalan, akhirnya tersesat langkahnya,
maka akan sulitlah ia sampai ke tempat tujuan.
Demikianlah umpamanya dalam melakukan
perjalanan (sarira lumampah) janganlah kurang waspada, jangan kurang hati-hati,
janganlah gila-gilaan, janganlah tidak mengasihi sebab suka duka selalu datang
silih berganti, janganlah tidak mendengarkan nasehat, janganlah berharap ada, janganlah
mengumbar keinginan, jangan tenggelam dalam cinta, hendaknya berani merendah
dalam berkata, hendaknya berani mengalah dalam hal apapun, hendaknya berani
kehilangan, hendaknya siap untuk mengorbankan jiwa , budi harus lurus, hati
harus terbuka, itulah yang disebut tapa.
Bertapa sambil rnakan dapat
dilaksanakan, namun harus sadar apa yang diperbuat, dan tidak melibatkan diri
pada perbuatan jelek, tidak berperangai iri hati, tidak goyah, tidak mernbela
penjahat, tidak mendatangi penjahat, tidak mengingkari, sadu, tidak melibatkan
diri dalarn kekacauan. Yang benar saja yang patut dilakukan oleh bad an.
Usahakanlah kerahayuan masyarakat seluruhnya, berpegang teguh pada kebenaran
dan perilaku yang baik, itulah yang disebut tapa sesuai dengan Silakrama.
Di dalam mencari kebenaran, hendaknya
dicari pada keluarga atau orang ya ng betul-betul tahu atau guru yang
sesungguhnya yang sempurna prilakunya. Yang tidak dapat dijadikan guru antara lain
: buta huruf, cacad
tubuh, impoten, sebabnya
tidak patut (dijadikaii guru),
karena lahir dari neraka . Demikian menurut agama orang yang demikian
Tidak
layak dijadikan guru
Inilah Sanghyang Trikayaparisudha, tiga
perinciannya antara lain sebagai perwujudan Sanghyang Dharma, tidak akan
menjadikan berdosa bila orang tidak menggunakan orang tua sebagai guru.
(Demikian juga) sanak saudaramu seluruhnya dan juga engkau tidak akan kena
penderitaan, siksa. Sebab seperti halnya emas dan permata Sanghyang Dharma
Upadesa, karena ia adalah permatanya busana.
Manakah yang dianggap emas (mastatur)
(tidak lain adalah) prilaku, ucapan yang baik, pikiran yang.tenang dan bersih cemerlang
yang mana itu adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Ingat pada prilaku yang
benar, ucapan yang benar, pikiran yang tidak ternodai oleh kekotoran,
kesemuanya itu lahir dari kesucian Sanghyang Dharma. Bila demikian, itu
bagaikan nasi (maiwak tan pagogo), dihorrnati oleh orang sesamanya.
Itu tidak lagi diucapkan semuanya.
Apalagi tentang kemuliaan. Kesemuanya akan engkau peroleh, karenanya perhatikanlah
Sanghyang Trikayaparisudha. Kenapa orang yang menuntut ilmu harus demikian kata
sang pendeta, karena ia adalah tempat untuk menanyakan yang baik dan yang
buruk, kata-kata yang tak patut adalah katakata yang jelek, kata-kata yang
baik adalah ucapan yang menyenangkan. Demikian dengarkanlah olehmu, anakku.
Kemudian ada yang disebut Sanghyang
Dasasila yang merupakan tempat untuk mempertanyakan baik buruknya prilaku,
ucapan dan pikiran. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut : srota, grana,
pani, pada, payu, pasta, tuak . Demikianlah kedua puluh satu itu masing-masing
mempunyai fungsi. Bagaimana perincian fungsi masing-masing maka dengarkanlah
dengan baik-baik penjelasan berikut.
Caksuindriya adalah mata, fungsinya
untuk melihat yang baik atau buruk. Biasanya orang senang melihat yang baik dan
tidak senang jika melihat yang tidak baik.
Itulah yang menyebabkan kamu mengucapkan
kata-kata yang tidak enak di dengar. Sebagai prilaku "makaladesa" yang
memikirkan yang tidak menyenangkan pikiran karena tidak tahu akan baik dan buruk,
karenanya janganlah demikian, lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, ingatlah
engkau pada nasihatku, maka akan sirnalah keinginanmu pada hal-hal baik atau
buruk. Carilah percik kecil dari keburukan yang ada pada pikiran, ingatlah akan
ucapan yang manis sebagai upayamu menjaga keinginan yang datang dari mata.
Srotendriya adalah telinga, fungsinya
adalah untuk mendengarkan kata- kata yang halus atau keras, karenanya (maka)
orang tidak senang pada makian, sumpah, jangan marah. Bila engkau dimaki,
engkau jangan membalas, lihat dan jangan engkau membalas, maka engkau akan
menjadi bersih. Kesimpulannya, ingatlah keutamaan dari Sanghyang Trikayaparisudha.
Engkau harus teringat pula pada nasehatku, maka akan sirnalah kemarahanmu bila
mendengar kata-kata yang baik, maka keinginan akan menjadi semakin mengecil
karena ingat kata-kata yang manis. Demikianlah u paya mu untuk mengendalikan
keinginan yang datang dari telinga.
Granendriya adalah hidung, fungsinya untuk
mencium bau yang busuk atau harum. Pikiran akan senang bila mencium bau wangi,
akan tidak senang bila mencium bau yang
busuk. Hendaknya janganlah demikian,
perhatikanlah keutamaan Sanghyang Trikayaparisudha. Apabila engkau ingat akan
nasehatku, maka akan hilanglah keinginanmu pada bau yang harum, demikian pula
bencimu kepada bau busuk.
Maka pikiran akan menjadi semakin kecil (karena) ingat pada kata-kata
manis.
Demikianlah usahamu untuk menjaga
keinginan yang muncul dari hidung.
Wakindriya adalah mulut, fungsinya
adalah untuk berkata-kata. Ini patut betul-betul dikendalikan. Apabila orang
tidak tahu menjaga mulutnya, kata-katanya akan tidak terkontrol (salah),
sebaliknya berkatalah yang benar. Kesimpulannya, perhatikanlah kemuliaan
Sanghyang Trikayaparisudha. Dan jika engkau ingat pada nasehatku, maka tidak
akan ada kata-kata bohong (darimu), maka akan menjadi kecillah tendensi dari
kata-kata itu, dan kata-kata manis saja yang akan diucapkan. Demikianlah
sepatutnya engkau menjaga keinginan yang keluar dari mulut.
Jihwendriya adalah lidah, fungsinya untuk
merasakan yang enak dan yang tidak enak. Engkau akan senang jika makan makanan yang
enak, itu sebabnya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak enak, berpikir yang-
tidak menyenangkan.
Janganlah engkau berprilaku
"makaladesa'', lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau ingat pada nasehatku, maka
akan sirnalah kata-kata yang tidak baik itu, sebaliknya akah keluarlah
kata-kata lembut lagi manis. Demikianlah hendaknya engkau menjaga keinginan
yang keluar dari lidah.
Panindriya adalah tangan, fungsinya menepuk,
menepis, menuding, juga untuk membelai perempuan di jalan, di hutan, di kebun,
di pesanggrahan, di tempat tidur, baik (perempuan) rendahan, sedang maupun yang
utama. Denda yang dikenakan terhadap orang yang mengambil perempuan yang sudah
bersuami adalah hukuman mati sebagai ganjarannya. Maka tahulah engkau jika
demikian, engkau ibarat menikmati
penderitaan, karena itu upayakanlah (Sanghyang Trikayaparisudha). Padendriya
adalah kaki, fungsinya untuk menerjang, akilusu angratakaken. Janganlah engkau
demikian, jika duduk dalam kumpulan orang banyak. Bila dalam keadaan tidak enak
(kakimu) lalu engkau hendak meluruskan kaki karena terasa kaku dan engkau
merasa tidak enak bila merubah posisi kaki, (bila engkau hendak merubah posisi
kaki) maka sebaiknya engkau menyampaikan kepada semua orang (yang ada di
sekitarnya) sebagai suatu perbuatan yang sangat baik. (Hal ini perlu) untuk
menjaga keinginanan yang datang dari kaki.
Paywindriya adalah anus, fungsinya untuk
pletus, buang air besar. Janganlah engkau pletus di tempat berkumpulnya orang
banyak, apalagi pada saat mendapat pelajaran dari sang guru. Jangan buang air
besar di dekat jalan, bila tercium oleh orang yang lewat maka akan memakilah ia,
maka kakek, nenek, ayah, ibu akan menjadi kesakitan oleh perbuatanmu itu.
Itulah yang akan menjadikan engkau teramat miskin, sebiji nasi dan sebutir
garampun akan sulit didapatkan karena (akibat) kutukan kakek dan nenek (mu).
Karenanya upayakanlah pengendalian keinginan yang datangnya dari anus.
Pastendriya adalah venis dan vagina,
fungsinya untuk kencing, amelecing, mengambil perempuan lain, apalagi tanpa
sepengetahuan orang banyak. Demikianlah sepatutnya kaum usahakan pengendalian
keinginan yang datangnya dari venis dan vagina.
Walcindriya adalah kulit, fungsinya
untuk menggunakan pakaian yang kasar atau yang halus. (Yang halus) enak digunakan,
lembut seperti wanita cantik, panas dan dingin.
Senang bila merasakan yang kasar dan
dingin, akan menyebabkan keluar kata-kata yang tidak enak di dengar, sebagai
akibat ketamakan pikiranmu. Itu sebabnya engkau berpikir "makaladesa",
ini disebabkan oleh karena pikiramnu selalu terpaut pada setiap yang lembut,
panas atau dingin.
Hendaknya engkau jangan demikian. Lihatlah
Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau teringat pada nasehatku maka
akan kecillah pikiranmu yang seperti itu, sehingga menjadi teringat pada
kata-kata yang manis.
Demikianlah sepatutnya engkau menjaga
keinginan yang timbul dari kulit.
No comments:
Post a Comment